Sofa Sampah
Sampah menjadi permasalahan memusingkan bagi manusia. Terlebih di negeri yang payah untuk diajak bersih dan rapi. Di Indonesia, sampah menjadi persoalan yang tidak bisa dianggap enteng. Kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya, adalah persoalan yang tidak kunjung selesai. Bahkan, perlu ada perda melarang membuat sampah sembarangan, dengan sanski berupa kurungan atau denda.
Begitupun di bumi Darul Hikmah ini. Masih ada siwa yang kurang memiliki kesdaran untuk membuang sampah pada tempatnya.
Di depan asrama musyrif kami ada tiga sofa berjejer. Warnanya merah keputihan, karena sudah pudar dimakan usia, dan sudah berlobang pada beberapa bagian terutama dipegangan atau bagian pinggirnya. Sofa ini digunakan untuk menerima tamu. Menghadap ke arah lapangan. Terletak di dekat kantin. Sekitar 5 meter dari kantin. Nah, pada saat istirahat, siswa datang ke kantin. Memesan makanan dan snack kemudian memakannya di sofa. Beragam snack yang didominasi oleh snack berbungkus plastik. Sampah yang luarbiasa sulit terurai.
Kesadaran siswa untuk membuang sampah pada tempatnya masih minim. Siswa yang badung, membuang sampak seenaknya. Termasuk di sofa itulah. Sesudah makan, dengan enteng dia masukkan sampah itu ke lubang-lubang sofa. Tak hanya satu dua siswa, banyak. Sebab, banyak sekali sampah yang ditemui di sofa tersebut. Sekali lagi, di dominasi oleh sampah plastik. Selain itu, sofa juga dihiasi dengan bercak gula merah, saus, dan kuas dari makanan ringan lain semisal onde-onde, bakwan, dan telur puyuh. Siswa yang tidak memperhatikan kebersihan makann yang membuatnya.
Kondisi ini berlangsung hingga beberapa waktu lamanya. Hingga menimbulkan keresahan pada seorang musyrif kami. Ustad Adi namanya. Ustad Adi memberikan kebijakan berupa peraturan yang melarang adanya pembuangan sampah di sofa. Jika sewaktu-waktu ditemukan ada sampah disofa, maka yang duduk di sofa pada saat itu harus membuang sampah tersebut meski saat itu tidak sedang makan makanan atau membuang sampah disana. Peraturan itu disosialisasikan di saat pelaksanaan apel.
‘Gimana, anak-anak sekalian, bisa diterima ?’ Ujar Ustad Adi.
Riuh jawaban anak-anak peserta pada apel pagi itu, wajar. Pada kebingungan.
“Makanya, jangan buang sampah di sofa. Ya...”
Beberapa waktu berjalan, masih ditemui adanya sampah disofa. Peraturan tetap dijalankan. Siswa yang kedapatan sedang duduk di sofa, dipaksa untuk membuang sampah saat itu juga. Memang masih juga ditemui sampah berselimpetan (nyelempit) di sofa. Akan tetapi sampah itu tidak berlangsung lama. Sebab, selalu jika Ustad Adi datang mengecek maka sampah tersebut dibuang oleh siswa. Cukup efektif mengurangi volume sampah di sofa.
Akan tetapi ada juga siswa yang tidak terima dengan kebijakan tersebut. Sebab, dia merasa tidak membuang sampah di sana. Seperti yang terjadi ketika pada sore hari, antara Eru ( ) dengan Ustad Adi.
“Nah Eru...disofa ada sampah, silakan antum buang
“Kok ana ustad....ana baru aja duduk”
“Iya benar. Kesepakatan kita apa?”
“Apa ustad?”
“Kesepakatan kita kan, kalau ditemui sampah disofa maka yang membuangnya adalah orang yang duduk di sofa. Ya kan?”
“Baru tahu ustad”
“Hm...antum gimana.. makanya kalau apel dengarkan. Ini sudah ustad katakan di apel”
“Nggak dengaar ustad”
“Ustad ada saksinya. Tanya azis !”
Azis kemudian didatangkan. Kemudian ditanya tentang peraturan itu.
“Benar, Ustad...sudah dikasih tahu” kata Azis.
“Gimana Eru? Masih kurang jelas?”
“Ya lah ustad...Hehe...”
“Atum aja yang nggak perhatikan. Lagian, ini kan amal. Membuang sampah. Untuk kebersihan kita. Trus, ustad juga nggak yakin antum nggak pernah buang sampah disini. Iya kan?”
“ya lah Ustad...”
Jadilah sore itu Eru membuang sampah. Kembali, sofa bersih dari sampah pada sore hari itu.
Lain waktu, ada siswa yang membantah. Tidak mau untuk menerima kebijakan itu. Fuad namanya. Anak kelas VII ikhwah. Tinggal di asrama dekat perumahan kepala sekolah. Sore itu ia berkunjung di asrama kelas IX yang berdekatan dengan asrama muyrif. Kemudian Fuad singgah di sofa.
Saat Ustad Adi datang mau masuk ke asrama, beliau sempatkan untuk melongok ke sofa. Ditemuinya ada sampah. Segera Fuad disuruh untuk membuangnya. Fuad menolak.
“Nggak ada ana buang sampah disini Ustad”
“Benar. Tapi kita sudah sepakat kan tentang sampah di sofa ini. Apa peraturannya, Mubarak?”
Mubarak saat itu datang bersama Fuad.
“Yang buang sampah di sofa adalah yang saat itu duduk di sofa, Ustad...”
“Gimana Fuad?”
“Nggak Ustad... ana nggak buang sampah disini. Sambil berlari. Melarikan diri dia”.
Sore itu ada siswa yang berani melawan, tidak memunguti sampah di sofa.
Tapi yang terjadi adalah, efeknya lebih besar. Malam harinya, bakda maghrib Ustad Adi berbicara di depan jamaah siswa setelah melaksanakan shalat maghrib.
“assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh..”
‘wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh...” serempak jawab
anak-anak
“Malam ini ustad mau bilang, jangan ada lagi yang buang sampah di sofa. Dulu malah parah lagi, ada sampah di jok motor Ustad. Biarlah yang berlalu, yang penting jalan diulang lagi.
“Kemudian, kita harus sepakat. Jangan ada lagi yang buang sampah di sofa. Antum ni terlalu. Masak buang sampah di sofa. Ada-ada saja. Untuk dua hari ke depan ustad liat, masih ada sampah di sofa atau tidak.
“Kalau masih ada sampah, besoknya lagi sofa itu ustad amankan. Pindahkan ke belakang. Tidak usah dipakai aja. Biar nggak dijadikan tempat sampah. Gimana ?
“Kenapa gitu Ustad?” Tio, anak kelas IX bertanya
“Ya...dimana kami mau duduk Ustad? Yang lain menimpali”
“Nggak ada duduk-duduk lagi. Makanya, jangan buang sampah lagi di sofa itu. Ustad yakin masih banyak sampah di sana, yang belum dibuang oleh kita. Makanya, agar antum enak juga, sama-sama kita jaga fasilitas kita. Buang sampah pada tempatnya. Toh, di asrama ada tempat sampah juga”.
Jadilah, malam itu disepakati tidak ada buang sampah di sofa lagi. Meski demikian, beberapa minggu kemudian masih ditemui adanya sampah di sofa. Akan tetapi volumenya sudah berkurang. Kebijakan tersebut relatif ampuh untuk mengurangi membuang sampah di sofa.
Post a Comment for "Sofa Sampah"
Kata Pengunjung: