Ironi di Bulan Suci
Salah satu hikmah bulan puasa
adalah berempati dengan sesama. Agar kita merasakan apa yang dirasakan
kaum dhuafa/miskin yang hanya bisa makan sekali dalam satu hari.
Berpuasa bukan hanya mengganti jadwal sarapan di waktu sahur atau makan
siang di waktu berbuka (maghrib). Puasa pada hakikatnya pengendalian
diri, termasuk dalam makan. Di bulan ramadhan itulah seharusnya kita dapat berlatih menahan diri dari makan. Makan seperlunya. Makan sesuai yang dibutuhkan.
Tapi
sering kali kita menjadikan berbuka sebagai balas dendam. Setelah
menahan lapar seharian, lantas kita makan secara berlebihan di waktu
berbuka. Kita makan sesuai apa yang kita inginkan berdasarkan nafsu.
Padahal Rasulullah SAW menganjurkan berbuka dengan secukupnya. Sering
kali kita berbuka dengan yang kita inginkan, bukan dengan yang
Rasulullah SAW anjurkan.
Media sosial
pun ramai dengan unggahan menu berbuka. Seakan orang lain harus tahu
dengan apa kita berbuka. Orang lain pun tidak mau kalah gengsi. Tidak
mau kalah. Makanan yang seharusnya dikonsumsi malahan difoto dan
disebarkan melalui dunia maya. Disini rawan terjadinya pamer makanan.
Ramailah perang foto makanan di sosial media. Rasa empati dengan kaum
dhuafa/miskin pun pelan-pelan terkikis.
Dengan frekuensi makan yang lebih sedikit dari biasanya, seharusnya di bulan ramahan pengeluaran untuk konsumsi keluarga
semakin hemat. Faktanya tidak. Justru di bulan ramadhan pengeluaran
semakin membengkak. Untuk membeli banyak makanan yang lebih enak-enak
dari menu makan sehari-hari. Tidak masalah kalau pengeluaran itu untuk
sedekah atau amal ibadah lain. Rasulullah SAW pun semakin dermawan
ketika di bulan ramadhan. Sedekahnya semakin sering. Bahkan digambarkan
sedekahnya seperti angin yang berhembus.
Kondisi
ramadhan kita berkebalikan dengan ilustrasi pertandingan sepak bola. Di
awal ramadhan biasanya masjid atau mushola penuh dan ramai dengan
jama’ah. Tua, muda, dan anak-anak. Shaf-shaf penuh. Sandal terparkir
banyak, sebanyak jumlah jama’ahnya. Semangat yang luar biasa hingga
sepuluh hari ramadhan. Namun, kondisi berkebalikan memasuki pertengahan
bulan ramadhan. Lebih-lebih pada sepuluh hari terakhir. Ibaratnya sebuah
pertandingan, final ramadhan malah tidak seru. Masjid semakin sepi dari
jamaah. Biasanya yang datang orang tua yang sudah sepuh. Shaff tidak
lagi penuh. Anak mudanya tidak lagi datang ke mushala. Mungkin para
orang tua juga. Agenda rutin shalat tarawih berganti dengan agenda buka
bareng (bubar) atau reunian instansi atau organisasi. Keramaian pindah
tempat. Tradisi masyarakat kita, menjelang lebaran justru meramaikan
mal, pasar, perbelanjaan atau pasar takjil.
Padahal
lazimnya sebuah pertandingan sepak bola, penonton semakin antusias kian
mendekati partai final. Mereka menyiapkan diri sebaik dengan maksimal.
Meski harus berjuang dengan kepayahan.Harga karcis yang semakin mahal
pun dibeli demi menyaksikan sebuah laga final.
Ngabuburit
Di
dalam satu hari terdapat waktu mustajab untuk digunakan berdo’a yaitu
menjelang berbuka. Di waktu itu do’a lebih didengar dan akan dikabulkan
oleh Allah. Lebih-lebih saat itu manusia sedang berpuasa. Sungguh di
waktu itu adalah waktu yang dahsyat untuk memanjatkan do’a. Akan tetapi
banyak diantara kita yang malah menggunakannya untuk ngabuburit atau
menunggu waktu berbuka dengan hal yang sia-sia. Nongkrong, ngobrol,
nonton tv, atau jalan-jalan. Malah pada kalangan anak muda, ngabuburit
dilakukan dengan pasangan mereka.
Ramadhan kareem. deviantart.com/net
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengatakan puasa memiliki tiga tingkat. Pertama, shaumul umum
atau puasanya orang awam yang berpuasa sekedar menahan makan, minum,
dan menjaga kemaluan dari godaan syahwat. Walaupun sedang puasa, orang
awam belum bisa mengendalikan nafsunya seperti masih melakukan perbuatan
tercela seperti ghibah, berbohong, atau mengumpat. Kedua, shaumul
khusus atau puasanya orang khusus. Orang dalam golongan ini selain
menahan dari makan, minum dan godaan syahwat juga menahan pendengaran,
pandangan, dan anggota tubuh dari segala macam bentuk dosa. Ketiga,
shaumul khususil khusus atau puasa khusus untuk orang khusus. Selain
berpuasa, orang dalam kelompok ini menjaga hati dan pikirannya dari
pikiran-pikiran duniawi serta menahan segala hal yang dapat memalingkan
dirinya pada selain Allah SWT. Berpuasa hati dan pikiran serta anggota
tubuh. Tingkatan ketiga ini adalah tingkatan puasanya para nabi,
shidiqin, dan muqarrabi.
Pada tingkatan
manakah kita? Sulit rasanya untuk mencapat tingkatan ketiga. Minimal,
tingkatan kedua itulah yang kita kejar. Jangan pula tingkatan pertama.
Sebab kata Rasulullah, “Banyak orang yang berpuasa tapi tidak
mendapatkan pahala berpuasa kecuali hanya lapar dan dahaga”. Sebelum
ramadhan tahun ini usai mari kita serius untuk meningkatkan kualitas
ibadah wajib dan meningkatkan kuantitas ibadah sunnah. Jadikan ramadhan
kali ini adalah ramadhan terbaik untuk kita. Tidak ada jaminan kita akan
bertemu Ramadhan di tahun berikutnya.
Post a Comment for "Ironi di Bulan Suci"
Kata Pengunjung: