Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pemimpin Yang Sederhana

Sejarah mencatat islam mengalami masa kegemilangan dibawah kepimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kehidupan rakyatnya makmur dan sejahtera. Keadilan ditegakkan seadil-adilnya. Rakyatnya tidak merasa kekurangan. Sehingga pada waktu itu sulit mencari orang yang berhak menerima zakat. Kondisi itu tidak lepas dari sosok khalifah yang memimpin dengan amanah dan penuh kesederhanaan. 

Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah pada saat berumur 37 tahun. Usai pelantikan, beliau memanggil isterinya dan memberikan opsi untuk pilihan untuk tetap bersamanya tapi meninggalkan harta kekayaan yang dimiliki atau berpisah karena lebih memilih harta kekayaan. Sang isteri lebih memilih tetap bersama sang Umar bin Abdul Aziz. Maka khalifah pun mengambil semua perhiasan dan barang berharga lainnya untuk diserahkan ke baitul mal kaum muslimin.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjalani kehidupan dengan penuh kesederhanaan walaupun sudah menjadi pemimpin umat muslimin. Menu makanan sehari-hari dengan sedikit roti dicampur garam saja. Suatu hari sang isteri dapat menghidangkan roti yang lebih enak karena berhasil menyisihkanbiaya belanja setengah dirham setiap hari selama sepekan. Mengetahui ini, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan bendahara agar memotong gajinya setengah dirham setiap hari. Sejak saat itu sang isteri tidak lagi mampu menyisihkan dari biaya belanja.
Kemudian saat saudaranya mendatangi dan meminta mengambil sedikit harta dari baitul mal, khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawabnya dengan memberikan bungkusan kain berisi dirham yang sudah dibakar di terlebih dahulu. Saat sudaranya membukanya, terpekiklah karena tangannya tersengat panas. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun mengatakan, “Didunia ini saja kita tidak tahan dengan panas api dunia, apalagi kelak dengan panas neraka akibat meminta harta yang bukan hak kita?”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya memimpin selama dua tahun. Masa jabatannya diisi dengan sikap kesederhanaan dan tidak memperkaya diri. Kekayaannya jauh berkurang setelah menjabat sebagai khalifah. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat lebih dipentingkan.
Bandingkan dengan pemimpin atau pejabat di negeri ini. Jabatan dimanfaatkan untuk semakin memperkaya diri. Menumpuk harta untuk diri dan keluarga. Gaji yang besar pun tidak cukup untuk biaya gaya hidup mewah. Maka korupsi-lah mereka. Parkir gedung wakil rakyat ibarat showroom yang memamerkan mobil mewah. Dengan alasan keamanan dan kenyamanan, pejabat meminta difasilitasi mobil mewah seharga mulai dari Rp 500 juta hingga miliaran rupiah seperti merk Pajero, Alphard, Land Cruiser, BMW, dan Mercedes Benz.
Selain itu, keluarga mereka turut menjadi penyebabnya. Isteri mereka bisa menjadi penyebab mereka melakukan korupsi. Merasa sudah menjadi istri seorang pejabat, fasilitas mewah pun diminta kepada sang suami. Istri minta dibelikan mobil atau rumah mewah karena merasa naik levelnya.
Budaya nepotisme pun kerap terjadi. Pengangkatan pejabat publik dan pegawai negeri banyak berasal dari ‘titipan’. Kepemimpinan pun hanya bergulir pada keluarga besar mereka. Muncullah dominasi politik dinasti. Sebuah keluarga memegang jabatan pada beberapa instansi atau lembaga. Jika tanpa dibarengi dengan kemampuan dan kapasitas yang memadai, maka hancurlah lembaga itu. Sebagaimana sebuah ungkapan yang menyatakan, ‘Jika sebuah pekerjaan diserahkan pada yang bukan ahli, maka tunggulah kehancurannya”.
Kemewahan dan hidup glamor yang diperlihatkan pemimpin malah membuat sekat dengan rakyat. Tidak terjalin kedekatan. Rakyat minder untuk dekat dengan mereka. Gambaran rakyat miskin dengan penampilan yang kotor, kumal, dan sederhana sangat kontras dengan penampilan mewah dan necispejabat kita.
Sangat langka ada pejabat yang mau menggunakan sarana transportasi umum. Justru mereka membuat perbedaan dari rakyat seperti menggunakan plat nomor kendaraan khusus seperti yang dilakukan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso yang menggunakan B 1 N untuk mobilnya. Tidak jarang konvoi mobil pejabat malah menyusahkan rakyat. Dengan memakai pengawalan, mereka memaksa minggir pengguna jalan lain. Bahkan lampu merah pun diterobos. Hitam mengkilat kaca mobil mewah mereka terlalu gelap untuk bisa rakyat melihat mereka. Semakin asinglah mereka dari rakyat. Mobil mewah pejabat itu tidak bisa masuk dan menjangkau ke daerah-daerah pelosok tempat tinggal rakyat miskin. Takut kotor, tergores, atau rusak karena menempuh jalan sempit dan rusak.
Perbandingan pejabat kita dengan pejabat luar negeri sangat kontras. Di negeri yang miskin ini pejabatnya bergaya hidup mewah. Sementara di negeri kaya disana, pejabatnya mau hidup sederhana.Diluar negeri sudah lazim seorang pejabat negara menggunakan sarana transportasi umum saat berangkat ke kantor. Seperti Perdana Menteri Inggris, David Cameron, sering tertangkap kamera naik trem tanpa pengawal. Bahkan saat tidak kebagian tempat duduk, dia tidak mau meminta jatah tempat duduk kepada rakyatnya. Dia malah memilih berdiri sambil membaca koran.
Negeri kita butuh pemimpin yang sederhana. Ekonomi yang kian terpuruk semakin menyengsarakan rakyat. Kita merindukan pemimpin yang mampu berempati. Mau merasakan bagaimana kondisi rakyat. Jadilah pemimpin yang mau hidup sederhana walaupun kekayaan menggunung. Kesederhanaan itu akan mengurangi jarak antara pemimpin dan rakyat. Agar rakyat tidak merasa asing dengan ‘wakilnya’. Mudah-mudahan pada pilgub Banten 2017 bisa menampilkan dan menghasilkan pemimpin yang mampu menjadi teladan bagi masyarakat terutama dalam hal kesederhanaan.

Post a Comment for "Pemimpin Yang Sederhana "