Dewasa Di Lapangan Hijau
Timnas Garuda
Muda Indonesia kalah lagi melawan timnas Malaysia. Kali ini di semifinal ajang
Sea Games 2017. Dengan begitu, dalam lima kali pertemuan terakhir, Indonesia
kalah sebanyak empat kali melawan Malaysia.
Pertempuran
melawan Malaysia bukan hanya sebuah pertandingan sepakbola melainkan pertaruhan
muruah antar bangsa. Menyangkut harga diri bangsa. Kita ingat, beberapa kali
kita 'dizalimi' oleh Malaysia. Dalam beberapa hal Malaysia selalu 'merampok'
kita. Mulai dari rebutan batas wilayah, pulau, kesenian reog, makanan rendang,
hingga lagu Rasa Sayange. Teranyar, insiden bendera terbalik pada buku panduan
Sea Games 2017 yang berdekatan dengan momentum bangsa kita merayakan
kemerdekaan. Benar-benar membuat geram.
Kita marah dan ingin
menuntut balas. Nah, salah satunya, pembalasan itu lewat sepak bola. Jika
kemarin kita menang, setidaknya itu membuat kita merasa pembalasan tertunaikan.
Namun, kekalahan itu semakin menguatkan statistik bahwa Malaysia lebih superior
dibanding kita, termasuk di lapangan hijau.
Kemenangan
terakhir Malaysia ditentukan oleh gol Tanabalan di menit ke-87. Padahal
sebelumnya gol itu, Indonesia di atas angin dilihat dari ball possesion yang lebih mendominasi.
Berbagai analisa
pun mencuat terkait kekalahan timnas Garuda muda. Salah satunya adalah absennya
Hansamu Yama Pranata sebagai kapten sekaligus bek andalan. Dalam setiap
pertandingan, Hansamu selalu dimainkan pelatih Luis Milla. Peran sentral pemain
nomor 23 itu tidak tergantikan. Pada Sea Games 2017, selama Hansamu bermain,
Indonesia tidak pernah kalah. Hansamu diplot menjadi benteng timnas yang kokoh.
Dalan setiap permainan pula, Hansamu sering menggagalkan serangan dan peluang
lawan. Absennya Hansamu dikarenakan akumulasi kartu kuning. Yang cukup menjadi
sorotan adalah kartu kuningnya yang kedua yang didapat pada laga lawan Kamboja
yang bertensi panas. Beberapa kali para anak-anak muda itu terlibat ketegangan.
Ketegangan
semakin menjadi ketika laga usai. Para pemain terlihat saling dorong. Hansamu
yang awalnya terlihat mau melerai, malah terpancing emosi dan terlibat dalam
kericuhan. Wasit pun terpaksa memberikan kartu kuning kepadanya. Itu adalah
kartu kuning keduanya. Sehingga, dia tidak boleh tampil pada laga selanjutnya. Sialnya,
laga itu adalah laga semifinal melawan Malaysia. Dan ketika kalah di semifinal,
pupus sudah harapan untuk melaju ke final.
Begitu pula
Marinus Wanewar Mariyanto yang tidak bisa turun main karena akumulasi kartu
kuning pada pertandingan melawan Kamboja. Kartu kuning Marinus terbilang lebih
konyol. Dia ditegur wasit karena mengejek penjaga gawang Kamboja saat merayakan
gol Febri Heriyadi dengan memantati kiper Kamboja.
Inilah yang
disayangkan dari kartu kuning yang konyol. Karena melakukan hal yang tidak
perlu. Kartu kuning bukan untuk kejadian yang krusial. Apalagi didapat saat
permainan tidak berlangsung. Sungguh melakukan suatu hal yang sia-sia.
Disinilah perlu kedewasaan seorang pemain. Memang, atmosfer dilapangan begitu
berbeda. Suhunya panas. Emosi sangat labil. Bahkan pemain kelas dunia pun bisa
saja melakukan hal diluar nalar ketika sedang emosi di lapangan. Seperti Luis Suarez
yang menggigit telinga Chiellini pada gelaran Piala Dunia 2014, Erick Cantona
(Manchester United) yang melayangkan tendangan kungfu ke arah penonton, dan
sejenisnya.
Di dalam
lapangan, emosi bisa tersulut seketika. Apalagi terhadap pemain muda, darah
muda. Semakin labil emosi mereka. Salah satu cara untuk mengendalikan diri di
lapangan adalah debgan mengingat pengaruh yang bisa timbul dari kartu itu.
Sumber Foto dari tirbunnews
Ingat, bukan
hanya dirinya yang rugi karena tidak bisa turun main, tetapi juga satu tim yang
berjumlah lima belas orang pemain atau dua puluh dua orang pemain bahkan satu
negara yang menanggungnya. Kesedihan terasa oleh satu bangsa akibat kartu.
Insiden yang hanya beberapa menit, tapi penyesalannya bisa berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun.
Masa depan mereka
masih panjang. Untuk menjadi pemain bintang dan bermain di level yang lebih
tinggi, mereka harus sangat pandai menjaga emosi. Pada kompetisi sepak bola
yang lebih tinggi, pengadil lapangan bisa sangat teliti. Kesalahan kecil bisa
diganjar dengan kartu kuning bahkan kartu merah. Apalagi jika melihat permainan
di Liga 1 kasta tertinggi sepak bola Indonesia, masih diwarnai dengan permainan
kasar. Wasitnya kurang dihargai. Mengeluarkan kartu kuning, bakal dikerubuti
atau diprotes keras oleh pemain bahkan official
tim.
Pesepakbola muda
kita harus belajar mengendalikan emosi. Setidaknya kita bisa mengorbankan ego
pribadi demi sebuah tim atau satu bangsa. Ingatlah banyak rakyat yang bisa
dikecewakan. Dan sebaliknya, ingat pula banyak orang yang tersenyum jika
akhirnya kita juara. Sudah lama kita puasa gelar. Rindu rasanya menyaksikan
timnas Garuda kembali mengangkat piala. Bagaimana pun juga, skuat timnas adalah
teladan bagi pemain lain. Saat mereka berlaga, jutaan pasang mata menatap
mereka. Mereka jadi panutan. Apa yang mereka pertontonkan di lapangan bisa jadi
diikuti oleh pemain lain. Perjalanan menjadi juara masih panjang. Perjalanan
itu makin berat jika selalu ada kesalahan yang terjadi. Sikap yang terbaik
adalah belajar dari pengalaman. Jadikan pengalaman sebagai pelecut untuk bisa
melakukan yang terbaik lagi.
Post a Comment for "Dewasa Di Lapangan Hijau"
Kata Pengunjung: