Dilema Polisi Tidur
Satu-satunya alasan orang bikin polisi tidur adalah supaya kendaraan yang lewat bisa mengurangi kecepatan alias tidak ngebut.
Begitu pula dengan polisi tidur yang dibuat di jalan Multatuli, Rangkasbitung, Lebak.
Orang bilang, kendaraan yang lewat disana sering berkecepatan tinggi, baik itu motor atau mobil. Kecuali becak ya. Ya iya lah... 😃
Padahal disana ada pemukiman warga yang juga padat, ada rumah sakit swasta, dan warung-warung.
Orang bilang juga sering dipakai balap motor. Cukup sering. Sehingga meresahkan warga.
Meskipun begitu, kemunculan polisi tidur cukup menjadi sorotan. Lantaran ada korban yang jatuh akibat melintas disana. Mungkin, karena baru, jadi kencang saja lewat disana.
Ah, gara-gara oknum tertentu, semua orang kena imbas. Maksud saya, gara-gara kebut-kebutan, semua orang kena getahnya. Kalau begini, yang merasakan semua pengguna jalan, bukan saja si oknum tadi.
Memang, secara peraturannya, keberadaan polisi tidur di tempat itu tidak sesuai aturan. Pembuatan polisi tidur ternyata tidak sembarangan, ada aturannya.
Saya search di google, berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.3 Tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan, yang menyebutkan a. polisi tidur hanya boleh dibangun di lingkungan pemukiman, jalan lokal kelas IIIC, dan pada jalan yang sedang dilakukan pekerjaan konstruksi,
b. polisi tidur harus memiliki tanda garis serong berupa cat warna putih agar bisa dilihat pengendara,
c. tinggi maksimal 12 cm, sisi miringnya punya kelandaian yang sama maksimum 15 persen, dan lebar datar bagian atas minimum 15 cm
d. bahan pembuat polisi tidur juga harus sama dengan bahan pembuat badan jalan.
Bahkan beredar komentar bupati Lebak yang juga mempertanyakan keberadaan polisi tidur tersebut. Lantaran sudah ada korban terjatuh di lokasi terpasang polisi tidur. Semoga segera dapat solusinya. Tidak ada polisi tidur, dan tidak ada sirkuit jalan raya. Untuk keselamatan kita. Aamiin.
Post a Comment for "Dilema Polisi Tidur"
Kata Pengunjung: