Menanamkan Budaya Sopan di Sekolah
Setiap orang suka dengan kesopanan. Senang jika diperlakukan dengan sopan, namun tersinggung bahkan marah jika diperlakukan tidak sopan. Sejak dulu, nilai kesopanan dijaga secara turun temurun dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terkecuali di sekolah. Salah satu nilai kesopanan itu adalah panggilan sapaan yang sopan. Kepada yang lebih tua kita dianjurkan memanggil dengan sapaan hormat. Adik kelas memanggil kakak kelas dengan sapaan kakak. Pada masyarakat orang Jawa ada sapaan Mas atau Mbak, di Minang memanggil Uda atau Uni, di Sunda ada Kang atau Teteh. Saat memanggil, bukan hanya namanya saja, tapi disertai dengan kata sapaan yang membuat kesan sopan.
Panggilan hormat itu juga diberlakukan kepada siswa yang umurnya lebih tua meskipun dia adik kelasnya. Sekali pagi, sapaan sopan itu berlaku untuk yang lebih tua.
Selain itu, para orang tua juga mengajarkan untuk menghormati orang yang berilmu. Para orang tua memanggil 'Pak Guru' atau 'Bu Guru' kepada para guru supaya anaknya mengikuti caranya menghormati guru. Hal ini berlaku ketika di sekolah dan di rumah. Profesi guru dipandang sesuai yang harus dihormati. Mengajari memanggil dengan sapaan sopan sangat penting. Dan sebaliknya, jika tidak dilakukan bisa berakibat fatal. Di masjid lingkungan rumah saya, ada seorang guru ngaji yang dipanggil 'mas' oleh anak-anak, sebab mereka terlanjur meniru orang tua mereka yang juga memanggil 'mas' pada sang guru ngaji. Dan untuk merubahnya, cukup susah.
Budaya bangsa kita memiliki nilai luhur kesopanan. Di Jawa ada istilah unggah-ungguh atau sopan santun. Dalam masyarakat Minangkabau dikenal istilah kato nan ampek yaitu mandata, malereng, mandaki, dan manurun. Jadi sejak dulu kearifan bangsa kita mengajarkan kesopanan.
Sekarang ini kesopanan menjadi barang yang langka. Nilai-nilai kesopanan kian hari kian terkikis. Hal ini terjadi pula di ranah pendidikan. Tidak sedikit siswa yang saling memanggil nama saja, tanpa sapaan sopan. Adik kelas hanya memanggil nama saja ke kakak kelasnya. Lebih parah, siswa saling memanggil nama orang tuanya.
Begitu pula di lingkungan tempat tinggal, banyak anak-anak muda yang manggil nama saja kepada orang yang lebih tua. Padahal, walaupun secara fisik mereka lebih besar dan lebih tinggi bukan berarti ini membolehkan mereka memanggil dengan tidak sopan. Tentu ini disayangkan, tidak mencerminkan karakter sopan. Bahasa Jawanya 'njangkar'. Tidak lagi memanggil dengan sapaan sopan.
Empat Kata Sakti
Salah satu cara untuk menerapkan nilai-nilai kesopanan adalah membiasakan empat kata sakti yaitu maaf, tolong, permisi, dan terima kasih. Empat kata ini sangat baik diaplikasikan dalam interaksi di sekolah oleh siswa dan guru. Sekolah bisa membuat kampanye untuk membiasakan empat kata ini misalnya dengan membuat imbauan-imbauan, spanduk, poster, hingga sosialisasi ke organisasi-organisasi sekolah. Semoga dengan ini siswa menjadi terbiasa menggunakan empat kata itu pada saat melakukan kesalahan, meminta bantuan, meminta izin, dan mendapatkan bantuan atau kemudahan dari orang lain. Kebiasaan melakukan empat kalimat sakti ini menunjukkan mulianya akhlak seseorang. Dan bukan menunjukkan sebuah ketidakmampuan atau kesalahan. Efektif untuk mengikis egoisme, mudah tersinggung, merasa paling benar dan mau menang sendiri.
Selain itu, sebagai upaya menumbuhkan kesopanan di sekolah bisa juga dengan memberlakukan program penggunaan bahasa halus daerah pada hari-hari tertentu. Setiap daerah memiliki bahasa halus. Jika hal ini dibiasakan, pembiasaan rasa kesopanan bisa tumbuh dengan baik.
Dahulu, bangsa kita adalah bangsa yang luhur budi pekertinya. Sopan, ramah, saling menghormati, dan menghargai. Namun saat ini nilai luhur itu mulai menurun. Hal ini tidak lepas dari arus globalisasi yang selain membawa efek positif, globalisasi juga membawa efek negatif. Dalam hal ini, televisi turut memberikan andil melalui bahasa dan dialog dalam tayangan-tayangannya. Sapaan santai/gaul seperti ‘loe’ atau ‘gue’ ditiru oleh mereka. Dipraktikkan dalam keseharian.
Lingkungan yang paling memungkinkan untuk menumbuhkannya adalah di sekolah. Sekolah adalah tempat terjadinya interaksi saling asih dan asuh. Saling asah artinya saling bekerja sama supaya semua dapat maju dan menjadi baik. Saling asih artinya saling mengasihi satu sama lain. Saling asuh artinya semua ibarat keluarga yang saling mengasuh, menyayangi, dan merawat. Ada yang salah ditegur, dinasehati, dan dibimbing. Ada yang berprestasi, disemangati dan diapresiasi.
Tiga Prinsip Relasi
Menurut Priyo Widiyanto sebagaimana dikutip di Manifesto Pendidikan Indonesia (Benni Setiawan : 2006) mengatakan relasi antara guru dan siswa menjelma menjadi Simbah, Simbok, dan Babu. Prinsip Simbah menyatakan bahwa relasi guru dan siswa harusnya seperti simbah dan cucunya. Relasi yang didasari dengan cinta kasih tanpa batas layaknya hubungan simbah dan cucu. Dalam masyarakat kita, biasanya simbah (kakek dan nenek) sangat mencintai cucunya. Cinta itu dapat menyebabkan cucu dekat dan akrab serta manja kepada sang simbah.
Relasi guru dan siswa pun harusnya demikian, relasi yang didasari cinta tanpa batas. Prinsip Simbok menyatakan bahwa relasi guru dan siswa haruslah seperti relasi simbok (ibu) dan anaknya. Sebagai sosok simbok (ibu), guru harus berupaya agar siswanya memiliki keteraturan hidup kepada siswanya. Simbok juga selalu mengajarkan banyak hal kepada anaknya. Segala nilai yang diajarkan oleh Simbok bertujuan agar anaknya semakin berkembang di kemudian hari. Prinsip Babu menyatakan bahwa relasi guru dan siswa harusnya seperti babu dan tuannya. Maksudnya, guru siap melayani siswanya secara total dan tulus hati agar siswanya dapat terus berkembang dan berprestasi. Untuk menjadi guru seperti profil di atas memang tidak mudah. Harus melalui proses yang panjang dan memerlukan segenap daya.
Menjadi guru adalah profesi yang mulia. Guru ibarat sebuah cahaya yang menunjuki jalan siswa. Jika siswa baik karenanya, guru akan mendapat pahala kebaikan yang tidak akan henti-henti. Ini yang dinamakan ilmu jariyah. Guru juga banyak mencetak orang besar. Seperti lagu Iwan Fals, guru menciptakan menteri bahkan presiden.
Saat ini, tugas kita adalah mengembalikan keunggulan bangsa kita. Salah satu jalannya adalah dengan menguatkan karakter kesopanan. Penerapan kesopanan ini merupakan praktik peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas adalah SDM yang mampu mengalahkan ego, sekaligus menghormati orang lain. Kesopanan sebagai bentuk kecakapan kepribadian yang berguna dimana saja berada.
Post a Comment for "Menanamkan Budaya Sopan di Sekolah"
Kata Pengunjung: