Keluarga Sebagai Mitra Sekolah Mewujudkan Kesuksesan Pendidikan Anak
Mengapa
pendidikan di keluarga sangat penting? Pertama,
seperti ungkapan, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Perilaku anak sesuai
dengan orang tuanya. Dalam keluarga, keteladanan orang tua sangat memengaruhi
karakter anak. Orang tua yang menjaga tutur katanya, bicara dengan sopan dan
pemilihan kata yang baik, biasanya anaknya akan meniru seperti orang tuanya. Kedua, anak berada di rumah dengan
durasi lebih lama dibanding di sekolah. Maka paling banyak pula anak melihat,
mendengar, dan mendapat berbagai hal baik itu hal baik atau buruk. Karakter anak
di sekolah erat kaitannya dengan cara orang tua mendidik mereka di rumah.
Sering kita temui, di zaman yang
nilai-nilai kesopanan yang semakin hilang,
masih tetap ada anak yang begitu menjaga sopan santun. Sikapnya sopan, tidak ngelunjak, dan menjaga ucapannya. Ini tidak lain karena di
rumahnya, orang tua juga mengajarkan dan
memegang teguh kesopanan pula.
Ki
Hadjar Dewantara dalam bukunya mengatakan, “Alam keluarga itu adalah suatu
tempat yang sebaik-baiknya melakukan Pendidikan-sosial juga. Sehingga bolehlah
dikatakan bahwa keluarga itulah tempat-pendidikan yang lebih sempurna sifat dan
ujudnya daripada pusat-pusat lainnya, untuk melangsungkan Pendidikan kearah
kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual) dan sebagai persediaan
hidup kemasyarakatan”. (Ki Hadjar Dewantara, Bagian 1 Pendidikan. Halaman 374)
Komunikasi Keluarga dan Sekolah
Bentuk
kepedulian keluarga terlihat dari bentuk komunikasi antara orang tua dan
sekolah. Komunikasi itu sejalan dengan berlangsungnya masa sekolah anak. Komunikasi bukan hanya pada saat pendaftaran,
menjelang ujian, dan pengambilan raport saja. Bahkan, jika komunikasi tetap terjalin meskipun anak
sudah lulus, adalah pertanda komunikasi berjalan dengan baik.
Sangat
disayangkan jika ada orang tua yang kurang peduli menjalin komunikasi dengan
sekolah. Saya pernah mengamati anak didik saya, ada dua orang tua yang bahkan
tak pernah datang mengambil raport. Satu pekerjaannya anggota dewan, satu lagi pengawas sekolah. Entah alasannya
apa, terlepas dari kesibukan orang tua, tapi
akan lebih baik jika orang tua bersedia datang mengambil raport. Masak iya, nggak bisa menyempatkan,
sekali saja. (Ngomong-ngomong, ini pesan sponsor, curhat dari wali kelas... Hehehe)
Tapi
komunikasi yang ‘berlebihan’ juga kurang bagus. Sekali lagi, berdasarkan
pengalaman saya jadi wali kelas, saya kewalahan menghadapi orang tua yang
curhat panjang lebar saat pengambilan raport. Sebab, kasihan pada banyak orang
tua lainnya yang juga mengantri. Akhirnya pengambilan raport pun belum selesai
hingga datangnya waktu shalat. Ini tidak lain pelampiasan kurangnya komunikasi
yang selama ini terjadi.
Maka
tidak ada salahnya orang tua menjalin komunikasi dengan wali kelas secara lebih
intens. Meskipun itu hanya memberikan informasi ringan, bertanya kabar, atau
memberikan ucapan terima kasih kepada wali kelas atas bimbingannya kepada anak.
Salah satu ukuran komunikasi yang berjalan adalah komunikasi dilakukan pada
tempat dan acara non-formal.
Apalagi,
jika komunikasi itu berupa silaturahim, mendatangi langsung wali kelas. Perlu
digarisbawahi, walaupun saat ini tersedia alat komunikasi canggih bisa
mendekatkan yang jauh dan merapatkan yang dekat, komunikasi tatap muka tidak
boleh dilupakan dan dialpakan. Komunikasi langsung sangat penting dilakukan.
Orang
tua perlu mendatangi wali kelas. Selama
ini biasanya orang tua datang ke walas
hanya saat anaknya bermasalah saja. Begitu pula, walas memanggil orang tua
untuk membicarakan pelanggaran anak. Mari ubah paradigma itu. Apa salahnya,
kedatangan orang tua, atau undangan
walas, juga membicarakan perkembangan
belajar anak, mengapresiasi prestasi
anak, atau sekadar ungkapan terima kasih kepada walas atas bimbingan terhadap
anak.
Komunikasi
orang tua kepada sekolah dapat berupa:
a. Karakter anak
b. Gaya belajar
c. Informasi tentang pola pendidikan anak
d. Potensi anak berupa kelebihan dan kekurangannya
e. Hal yang disukai dan yang tidak disukai. Misalnya, anak tidak suka dibanding-bandingkan, tidak
suka bahasa memerintah
Sedangkan
komunikasi wali kelas atau sekolah kepada orang tua dapat berupa:
a. Laporan perkembangan belajar anak
b. Perilaku anak di sekolah
c. Pengembangan potensi anak
d. Program-program dari sekolah
Kesamaan
cara pandang antara sekolah dan orang tua sangat penting dilakukan. Saya ambil
contoh dari sekolah saya, ada tiga cara terhadap peserta didik
Pertama,
peserta didik itu tunas pohon yang
dititipkan Allah, kita petaninya bermitra dengan ortunya. Tugas petani adalah
merawat tunas, memastikan tunas itu tumbuh dengan subur, indah, dan menjaganya
dari hama yang dapat merusak pertumbuhannya.
Kedua,
peserta didik itu mutiara indah yang
orang tuanya memilih sekolah ssebagai pengrajinnya untuk memperindahnya. Maka,
sekolah dengan sekuat tenaga berusaha memoles Mutiara indah itu, supaya ketika
dikembalikan ke orang tua benar-benar menjadi Mutiara indah yang sedap
dipandang mata dan mengagumkan bagi pemiliknya.
Ketiga,
peserta didik itu pelanggan istimewa
yang orang tuanya membayar mahal kita sebaga pelayan pilihannya untuk kebahagian
mereka dunia hingga akhirat. Sebagai seorang pelanggan, tentu sekolah
menghadirkan pelayanan yang maksimal supaya pelanggan terkesan dan puas dengan
‘pelayanan’ sekolah.
Makna
Keluarga di Sekolah
Dalam
artian lebih luas, keluarga bukan hanya orang tua saja. Perlu kita contoh apa
yang dilakukan oleh SMK Telkom Malang, yang memperluas makna keluarga. Bukan
hanya orangtua siswa tetapi seluruh civitas , mulai dari guru, siswa, karyawan,
dan alumni. Bahkan, pihak lain yang berhubungan dengan sekolah seperti
pengelola kantin sekolah, warga sekitar sekolah, dan bapak-ibu kos siswa. Dikutip dari (https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/m/index.php?r=tpost/xview&id=4906)
Dengan
demikian, seperti sebuah keluarga, pihak-pihak tersebut bertanggungjawab dan
memiliki kepedulian terhadap pendidikan siswa. Bahkan, uniknya ada paguyuban
bapak-ibu kos SMK Telkom Malang, termasuk membentuk grup Whatsapp sebagai
sarana komunikasi dengan sekolah. Pemanfaatan teknologi yang sangat menunjang
proses pendidikan. Jika setiap orang memosisikan dirinya sebagai bagian dari
keluarga, maka setiap kita akan mengambil peran-peran dan berkontribusi dalam
mewujudkan kesuksesan pendidikan.
Bentuk-bentuk Kemitraan
Banyak
hal yang dapat dilakukan dalam rangka membentuk kemitraan antara keluarga dan
sekolah. Menurut Dr. Sukirman, M.Pd., ada empat cara yang bisa dilakukan
keluarga dan sekolah dalam menjalin kemitraan.
Pertama,
terbentuknya paguyuban orang tua dalam level kelas. Hal ini perlu dilakukan
agar terjalin komunikasi intensif antara keluarga dan sekolah sehingga setiap
permasalahan anak bisa dikomunikasikan bersama.
Kedua,
terlaksananya kelas orang tua. Yakni mengumpulkan orang tua/wali untuk hadir
bersama-sama di sekolah membahas satu topik yang sudah disepakati orang tua,
misalnya isu-isu yang membahayakan anak seperti narkoba atau bullying. Dari
pertemuan itu, terbentuk solusi baik yang bisa melindungi anak untuk tidak
terjebak pada kasus negatif.
Ketiga,
kelas inspirasi. Yakni kegiatan yang dilakukan oleh orang tua/wali siswa untuk
menceritakan tentang profesinya kepada siswa dan diharapkan siswa mendapatkan
inspirasi dari cerita tersebut. Pihak sekolah dapat mengundang orang tua/wali
siswa untuk berbagi inspirasi tentang profesinya.
Keempat,
pentas akhir tahun sebagai bentuk perayaan untuk anak setelah melakukan proses
belajar selama satu tahun. Pelaksanaan pentas akhir tahun dilakukan oleh komite
sekolah yang berkoordinasi dengan kepala sekolah. Dikutip dari https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/m/index.php?r=tpost/xview&id=4211.
Konsekuensi Mitra
Dalam
sebuah relasi kemitraan, apa pun bisa terjadi. Relasi keluarga dan sekolah
pasti ada baik dan buruknya. Sebagai mitra, keluarga harus mau menerima
konsekuensi yang mungkin saja timbul. Ada dua tipe relasi kemitraan, yaitu
a. Tipe Nasabah
Orang
tua ibarat Seorang nasabah yang hanya mau untungnya saja. Cukup dengan menyimpan
sejumlah deposito di bank dan kemudian menunggu untung (bunga). Dia tidak mau
rugi.
b. Tipe Pedagang
Meskipun
pedagang berharap selalu untung terus, seorang pedagang yang baik pasti
mengantisipasi kerugian. Seorang pedagang harus siap menerima untung dan siap rugi.
Mana ada pedagang yang untung terus. Maksudnya, jika ada kenakalan,
penyimpangan, dan pelanggaran yang dilakukan anak, itu menjadi tanggung jawab bersama,
antara sekolah dan orang tua. Orang tua jangan hanya menyalahkan sekolah, pun
juga sekolah jangan berlepas tangan. Jangan saling melempar tanggung jawab. Misalnya,
anak terlibat tawuran. Orang tua menyalahkan, kenapa gurunya tidak mencegah,
kemana pula guru saat itu? Lalu guru berdalih, tawuran itu dilakukan diluar jam
pelajaran dan berada di luar lingkungan sekolah. Lalu, siapa yang bertanggung
jawab?
Mendidik
anak bukan pekerjaan instan. Tidak langsung jadi. Maka, orang tua dan sekolah harus
bersabar jika anak belum bisa memenuhi apa yang diharapkan. Anak pintar kita terima, anak bandel pun harus kita terima.
Berprestasi diapresiasi, nakal pun harus dievaluasi. Jangan mengkambinghitamkan
sekolah. Kasihan guru, disamakan kambing hitam. Hehe ..
Anak
adalah manusia yang kadang berbuat khilaf dan salah serta memiliki kehendak untuk menerima atau menolak, mematuhi atau
membantah. Kata Abah Ihsan, pakar parenting, anak bukanlah
manusia dewasa dalam bentuk mini, yang akan langsung paham dengan nasihat dan
larangan kita. Tidak bisa begitu. Kita bahkan butuh usaha berkali-kali untuk
mendidik anak. Kita akan menemui jalan yang berliku bahkan buntu. Namun kita
jangan menyerah. Selalu berharap kebaikan untuk anak. #sahabatkeluarga
Good article๐๐๐
ReplyDeleteThanks
Delete