Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Paman Anies


"Panggil saya paman Anies. Kenapa Paman? Karena saya saudara bapak-ibunya, gitu ya, Paman Anis" kata Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pada peringatan Hari Anak Nasional (HAN) di Ancol, Jakarta pada Kamis (6/9).

Duh, sejuk sekali ucapan Anies Baswedan. Seorang gubernur, minta dipanggil paman. Seolah tanpa jarak. Anies menawarkan kedekatan kepada anak. Gubernur berusaha menjalin keakraban. Siapa sih, yang tidak ingin punya paman gubernur? Meskipun bukan paman 'asli', setidaknya itu membuat sebuah kebanggaan.

Luar biasa sekali. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Mengayomi, dekat, dan akrab kepada rakyat. Dan tidak kalah penting, mencintai dunia anak. Dan, inilah pula yang harus dilakukan oleh orang dewasa, memenuhi interaksi dengan penuh kasih sayang kepada anak.

Sosok anak-anak, yang kelak menjadi generasi penerus bangsa, kepadanya kita curahkan kasih sayang. Itu adalah investasi yang paling bernilai. Dikemudian hari, investasi itu akan kita tuai dengan melihatnya sebagai sosok yang penuh kasih sayang pula.

Seorang pemimpin janganlah jaim dengan anak-anak. Mari kita contoh Rasulullah. Pada suatu ketika, ada seorang anak kecil dibawa ke hadapan Rasulullah agar didoakan, dimohonkan keberkahan, dan diberikan nama untuknya. Rasulullah kemudian mengambil anak itu dan memangkunya di pangkuannya.

Tak lama kemudian anak itu buang air kecil atau kencing sehingga mengenai baju yang dikenakan oleh Rasulullah. Sontak orang yang melihat kejadian itu berteriak. Tapi beliau, “Janganlah kalian menghentikan anak yang sedang kencing, biarkan ia menuntaskannya”.

Rasulullah  pun membiarkan anak kecil itu sampai habis kencingnya. Sampai akhirnya Rasulullah melanjutkan doanya untuk anak tersebut dan memberinya nama. Setelah kelurga itu pulang, barulah Rasulullah membersihkan sendiri baju yang basah karena kencing anak itu. Lihatlah, seorang nabi, sangat kasih sayang pada anak kecil. Rasulullah mengatakan,

"Barang siapa tidak menyayangi yang kecil dan menghormati yang besar, orang itu bukan golongan kami”.

Subhanallah, rasa sayang pada anak kecil yang disejajarkan dengan pengakuan sebagai ummat Rasulullah. Tentunya, menyayangi anak kecil, dipandang bukan sebagai hal yang remeh. Bahkan, semakin baik jika kita sering 'menjadi anak kecil' di hadapan mereka, untuk bisa masuk dan menyelami dunia mereka.

Bukan 'orang besar' jika dia tidak cinta anak kecil. Tidaklah dikatakan hebat, dia yang tidak bisa menghormati anak kecil. Negara kita banyak mengalami permasalahan dan krisis.

 Saat ini, anak-anak adalah investasi kita yang diharapkan kelak bisa mengurai dan menjadi solusi bagi permasalahan itu. Dan untuk itu, mereka perlu disiapkan. Salah satunya adalah dengan curahan kasih sayang agar mereka menjadi sosok penuh kasih sayang pula.

Namun hari-hari ini kita disuguhkan pemandangan yang miris. Banyak orang yang justru memperlakukan anak dengan kejam. Ada ayah yang menganiaya anak, seorang guru yang melakukan kekerasan pada anak, atau seorang nenek yang melakukan kejahatan luar biasa kepada seorang cucunya. Biasanya saya tidak tahan dan tidak meneruskan tontonan atau bacaan saya jika ada kekerasan  terhadap anak. Tidak tahan. Tidak kuat hati. Kok ada manusia yang sedemikian tega terhadap anak kecil. Namun kemudian, saya berpikir pastilah ada andil syetan pada kejahatan itu.

Tugas kita adalah mendampingi anak-anak melewati masa pertumbuhannya hingga mereka dewasa. Hendaknya pula kita memilihkan lingkungan pendidikan yang baik supaya mereka mendapatkan ilmu yang tepat pula, untuk kehidupan mereka kelak.

"Kunci keberhasilan pendidikan adalah rasa percaya yang besar dari orang dewasa kepada anak" demikian kata Anies Baswedan, saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Orang dewasa harus percaya bahwa perilaku kita saat berpengaruh pada karakter mereka. Menanamkan dan menumbuhkan karakter baik sangat penting untuk luhurnya akhlak mereka.

Puisi masyhur ini cukuplah jadi pengingat untuk kita. Ditulis oleh Dorothy Law Nolte, menggambarkan pentingnya perlakuan kita kepada anak.

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Selamat hari literasi Internasional, 8 September 2018

Post a Comment for "Paman Anies"