Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ruh Asian Games

Tidak hanya sebuah jargon televisi yang mampu menjadi pemersatu bangsa, olahraga ternyata mampu melakukan itu juga. Baru saja kita melewati ajang Asian Games 2018 sebagai tuan rumah dengan hasil yang menggembirakan. Bahkan para atlet kita menyumbang prestasi diluar target yang dicanangkan. Indonesia mengemas 31 emas. 

Sejenak perhatian kita tertuju pada pertandingan-pertandingannya. Kita bersatu memberikan dukungan kepada atlet kita. Menang atau kalah kita dukung. Meskipun, tetap saja ada yang nyinyir atas performa atlet.
Apa yang terjadi di lapangan terbawa ke luar lapangan. Suasana sosial media kita yang sering kisruh dan gaduh berubah menjadi sejuk dan adem. Semua bersatu padu mendukung, bersorak, dan berdoa untuk kemenangan atlet kita. Kepada tim nasional (timnas) Garuda Muda, kita berikan dukungan kita, tidak peduli dia dari klub mana, atau malah musuh bebuyutan klubnya di liga domestik, tidak peduli. Semua berubah ketika pemain-pemain tadi bermain di timnas. Jerseynya sama, merah hitam (Jersey kandang) atau putih hijau (Jersey tandang). Kadang mencaci di liga domestik, berubah menjadi puji di level timnas. Suporter melebur jadi satu. Bersorak, berteriak menyemangati timnas. Siapa kita? Indonesia! Siapa kita? Indonesia.
Begitu juga di pertandingan bulutangkis. Sorak-sorai memenuhi lapangan indoor bulutangkis. Suporter bersepakat mendukung pemain yang berlaga, tanpa dibayangi masalah SARA. Tidak seperti biasanya dimana kita sering tersulut masalah SARA. Tapi saat itu, kita tidak mempersalahkan tentang SARA. Atlet yang beragama Islam, Kristen, Budha, atau Konghucu juga kita dukung. Kita doakan untuk kemenangan mereka. Saling mendoakan, meskipun kita berbeda-beda keyakinan. Juga kita apresiasi atas kekalahan mereka. Memang harusnya begitu, nasionalisme kita tidak dibatasi SARA. Kita berada di bawah satu bendera, bendera merah putih. 

Dan puncak dari rasa persatuan kita, mungkin kita sepakat pada insiden berpelukannya Jokowi dengan Prabowo yang diinisiasi oleh Hanifan Yudani Kusumah saat selebrasi kemenangan meraih emas. Jokowi dan Prabowo mau tidak mau dianggap sebagai ikon dari perbedaan dua kubu politik yang kerap bersinggungan dan berseberangan. Keduanya bisa berangkulan, bisa berpelukan. Ini kode untuk kita, bahwa beda politik tidak harus selalu bermusuhan. Proporsional menempatkan diri. Bertarunglah dengan narasi dan gagasan. Meskipun berbeda pendapat, tetap kita bergandengan tangan mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Elit di atas bisa berdamai, masyarakat bawah pun harusnya bisa damai.

Berbagai pengorbanan telah dipersembahkan oleh para atlet kita.  Sehingga layak kita hormati dan apresiasi. Pengorbanan tenaga, waktu, dan pikiran untuk mempersembahkan yang terbaik bagi bangsa lewat medali. Banyak yang meraih medali, namun ada juga yang gagal. Ada tangis bahagia, ada tangis sedih. Apapun hasilnya, kita seharusnya tetap mendukung mereka. Menang dan kalah kita bela.

Suporter pun tidak kalah perjuangan. Sebagai 'pemain' dari luar lapangan, keberadaan suporter memberikan suntikan motivasi untuk atlet. Antusiasme suporter Indonesia sebagai tuan rumah terlihat dari mengularnya antrean tiket. Berbagai pertandingan selalu penuh sesak penonton. Juga jangan lupakan penonton yang tidak kebagian tiket, mereka menonton dari rumah atau tempat nonton bareng. Doa dari jutaan masyarakat Indonesia yang rindu juara memenuhi langit. Secara tidak langsung memberikan kekuatan kepada para atlet, hal ini disadari oleh siapa saja, makanya pemandu acara dan komentator stasiun televisi selalu mengingatkan agar kita terus berdoa. Berikan sekecil apapun kontribusi yang kita bisa.

Ruh Asian Games benar-benar menguar hingga ke mana-mana. Asian Games telah menyadarkan kita, bahwa ada hal yang bisa menyatukan kita, yakni olahraga. Semoga kita lebih melihat pada kesamaan, daripada perbedaan itu. Ada sebuah  sekolah yang mengadakan nonton bareng, karena penasaran pada final bulutangkis, mereka mengorbankan jam pelajaran. Netizen berseloroh "guru yang mengajak nonton bareng itu layak dikasih penghargaan". Bahkan, Asma Nadia, seorang penulis dalam kolomnya menuliskan bahwa disela-sela sambutan prosesi wisuda di Universitas Indonesia, terselip pengumuman perolehan medali Indonesia di ajang Asian Games 2018. Sebuah hal yang tidak lazim, tapi keren. Bahkan para pimpinan universitas dan wisudawan serta orang tua diajak berjoget ria dengan soundtrack Asian Games"Meraih Bintang". Ah, jika begitu, rasanya damai negeri ini. Pengaruh Asian Games begitu luar biasa. Bahkan, ada selorohan dari seorang kolomnis di Republika, sepertinya Asian Games ini perlu diadakan setiap bulannya hingga pelaksanaan pilpres 2019. Tentu saja itu tidak mungkin. Hanya candaan. Tapi saya khawatir, sekaligus berharap, jangan sampai Asian Games ini ibarat 'time out' sebuah pertandingan, hanya sekadar selingan untuk kemudian kita bertikai lagi. Semoga tidak. Aamiin. 

Post a Comment for "Ruh Asian Games"