Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menimbang Demo Guru



Guru merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas pendidikan. Ekosistem guru adalah sekolah, termasuk di dalamnya ada kelas. Maka, keberadaan mereka harusnya di sekolah. Apa jadinya jika guru tidak berada di sekolah?

Pada September 2018 ini,  pemerintah membuka lowongan CPNS. Pendaftarannya dimulai sejak 19 September lalu. Kebijakan pemerintah ini merupakan angin segar bagi banyak orang di negeri ini yang sejak lama menantikan penerimaan CPNS. Banyak yang senang, tapi banyak pula yang menolak.

Di beberapa tempat, guru yang tergabung dalam guru honorer K2 mengadakan demo. Tuntutan mereka pemerintah mengangkat mereka langsung jadi CPNS tanpa melalui tes. Pertimbangan mereka, persyaratan CPNS yang mencantumkan usia maksimal 35 tahun, membuat mereka tereliminasi secara langsung. Sehingga,

pengabdian mereka yang telah belasan hingga puluhan tahun 'tidak dihargai'. Tidak sedikit diantara guru yang berdemo adalah guru yang sudah sepuh usianya.

Oleh karena itu, mereka menuntut untuk diangkat langsung tanpa tes. Tentunya tuntutan parah guru ini tidak serta merta dikabulkan. Jika tuntutan  dikabulkan,, pengangkatan semua tenaga honor K2 akan menambah beban belanja negara untuk biaya pegawai. Selain itu, pengangkatan langsung jelas menimbulkan kecemburuan bagi yang be beda profesi. Pada setiap anak bangsa harusnya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi CPSN.

Tidak hanya itu, tuntutan guru honorer itu terkesan menolak kebijakan pemerintah. Ada lima hal yang dituntut yaitu batalkan rekruitmen CPNS tahun 2018, terbitkan SK Bupati untuk seluruh honorer, beri gaji sesuai UMR, angkat semua honorer menjadi PNS dengan regulasi sesuai masa kerja, dan segera ajukan Undang-undang revisi ASN dan Permentan no. 36.

Menjawab tuntutan ini, pemerintah  terbatasi anggaran dan aturan. Sehingga tidak mungkin pula mengabulkan tuntutan itu. Selain itu, dikhawatirkan adanya kecemburuan dari calon pelamar CPNS lainnya. Mereka pun kemudian ingin pula mendapatkan kemudahan seperti itu.

 Nasib guru honorer memang memprihatinkan. Masih banyak guru honorer yang digaji dibawah Upah Minimum Regional (UMR) di daerah masing-masing. Banyak guru yang menerima 'uang lelah' Rp. 200 ribu per bulan. Di tengah kondisi ekonomi yang sulit dengan harga bahan pokok serba mahal, jumlah gaji itu jauh dari kata 'manusiawi'. Tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Akibatnya, guru terpaksa mengerjakan pekerjaan sampingan.

hingga, manusiawi jika guru honorer menuntut, berharap nasib mereka terangkat. 

Bisa lebih sejahtera, setidaknya sama dengan mereka yang sudah PNS. Jadi PNS memang menggiurkan. Betapa tidak, gaji yang lebih dari cukup, ditambah tunjangan ini itu, memberikan kesejahteraan yang melimpah. Belum lagi, jika sudah sertifikasi, gajinya bisa dua kali lipat. Tak sampai disitu, menjelang lebaran ada bonus gaji tiga belas atau gaji empat belas.

 Dan tentu saja, mayoritas orang ingin jadi PNS adalah alasan kepastian jaminan hari tua berupa pensiunan. Tak perlu lagi bekerja, setiap bulan menunggu kiriman di rekening.

Belum lagi, Surat Keputusan (SK) Pengangkatan CPNS yang laku dijaminkan di bank.Sejumlah guru melakukan aksi mogok mengajar mendesak pemerintah untuk diangkat jadi PNS. Konsekuensinya, anak-anak terlantar, tidak mendapatkan hak belajarnya. Maksudnya mungkin 'baik' supaya pemerintah benar-benar berpaling ke aksi guru. Agar pemerintah tidak main-main dengan tuntutan guru. Harapannya, dengan sejumlah kerugian dari berhentinya proses belajar mengajar, pemerintah bakal mengabulkan tuntutan mereka. Apakah jurus 'jitu guru' itu berhasil?

Tidak dipungkiri, apa yang dilakukan oleh guru itu adalah untuk masa depan mereka. Demi kesejahteraan guru yang (pasti) berbanding lurus dengan kualitas mengajar mereka. Namun jika dengan itu mengabaikan hak siswa, keteladanan apa yang sedang dilakukan? Bukankah, dengan begitu guru sedang menunjukkan bahwa urusan mereka lebih penting dari menunaikan hak anak?

St. Kartono dalam bukunya Menjadi Guru untuk Muridku, menyentil guru, dengan pertanyaan kita itu menjadi guru untuk siapa? Apakah untuk pejabat, dinas pendidikan, atau untuk lainnya? Ataukah kita menjadi guru untuk kesejahteraan diri kita sendiri? Terkadang ada guru yang lebih bergegas dan sigap mendatangi panggilan pejabat yang menjadikan atasannya.  Sementara saat ada panggilan mengajar tidak seantusias itu. Sehingga pertanyaan 'Menjadi guru untuk siapa' benar-benar penting direnungi. Jangan-jangan kita menjadi guru hanya untuk urusan perut (kesejahteraan) kita sendiri.

Solusi

Jika pun 'terpaksa' melakukan demo, setidaknya tidak membiarkan siswa terlantar. 

Jangan sampai ketiadaan guru di kelas malah menimbulkan berbagai dampak negatif seperti siswa bolos keluyuran, sekolah kacau, atau siswa jadi melakukan tawuran. Jika demikian yang terjadi, bukankah itu 'dosa' guru?

Minimal, tinggalkan tugas, supaya siswa tetap di sekolah. Tapi, mau  sampai kapan ngasih tugas? Bukankah tugas harus dinilai? Lalu kapan menilainya? Jika demo itu hanya satu dua hari, tidak banyak siswa terbengkalai. Tapi jika itu setiap hari sepanjang Minggu, berapa banyak hak anak yang terabaikan? Kelas ibarat anak ayam yang kehilangan induknya. Bingung. Mau pulang belum waktunya, sementara di sekolah pun menganggur. Padahal, waktu menganggur itu berbahaya. Waktu yang tidak diisi dengan kegiatan produktif sering kali disalahgunakan, disaat itu muncul keisengan dan perilaku nakal seperti perkelahian, tawuran, atau coba-coba merokok hingga narkoba.

Saya yakin akar masalahnya adalah tentang kesejahteraan atau gaji yang memadai. Meskipun tidak semuanya, saya yakin pada guru sebetulnya tidak harus diangkat menjadi PNS.

 Asalkan gaji cukup membuat kehidupan guru menjadi lebih layak dan sejahtera, saya rasa guru tidak terlalu menuntut lebih jauh.

Di hati yang terdalam, guru juga merasa tidak nyaman dengan apa yang dilakukannya. Seratus persen karena terpaksa. 

Disinilah peran pemerintah dalam menghadirkan kehidupan (baca: gaji guru) yang lebih layak. Gaji guru honorer memang horor. Masih ada guru yang digaji Rp 300 ribu bahkan Rp 150 ribu per bulan. Sehingga wajar, para guru menjadi berontak. Gaji sejumlah itu tentu jauh dari kata cukup.

Apalagi, ditengah biaya hidup dengan harga barang-barang yang semakin melambung, seharusnya kesejahteraan guru pun mendapat perhatian dari pemerintah. Guru PNS sudah sejahtera dengan berbagai tunjangan termasuk sertifikasinya, semoga ada gebrakan atau revolusi gaji juga untuk guru honor. Setelah itu, kewajiban guru honor untuk membuktikan bahwa mereka memang layak digaji lebih dengan kinerja yang semakin meningkat pula.

Seimbang antara kesejahteraan dengan kinerja. Sepadan antara hak dan kewajiban. Guru PNS? Tentu begitu juga. Lebih-lebih bagi yang sudah sertifikasi. Semoga.

Post a Comment for "Menimbang Demo Guru"