Belajar Mengapresiasi
Dalam sebuah
pelatihan, Jack Ma membuat sebuah simulasi. Pemilik Alibaba Group itu
menuliskan sejumlah soal matematika. Soalnya tidak rumit. Bahkan terlalu mudah
dan sederhana. Dengan sengaja, Jack Ma menuliskan satu jawaban salah, sementara
jawaban lainnya benar. Saat tiba di jawaban yang salah, peserta pelatihan
memprotes Jack Ma. Para peserta riuh memprotes jawaban terakhir yang salah itu.
Kemudian Jack Ma
seraya tersenyum mengatakan bahwa
jawaban soal terakhir memang disengaja salah. Kata Jack Ma, kenapa kalian hanya
fokus pada satu kesalahan jawab saja, dan tidak mengapresiasi atas jawaban yang benar? Seketika membungkam seluruh
peserta.
Demikianlah
hakikat kehidupan kita. Kita lebih mudah menemukan dan bereaksi terhadap
kesalahan orang. Juga, kita lebih mudah membesar-besarkan kesalahan orang lain
ketimbang kebaikan-kebaikannya.
Dalam keseharian
kita, mungkin simulasi Jack Ma ini sering kita alami. Baik kita sebagai subjek
atau sebagai objeknya. Begitu pula dalam aktivitas pekerjaan, organisasi, dan
lainnya. Pernah tidak teliti memperhatikannya? Penulis beberapa kali mengalami.
Pada beberapa pekerjaan yang dikerjakan, sering kali kritik lebih dahulu dan
lebih banyak diterima ketimbang apresiasi atau pujian. Benar jika memang ada
kekeliruan atau kesalahan. Tapi alangkah baiknya menilai sebuah pekerjaan itu
dimulai dengan mengapresiasi.
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa orang
cenderung lebih mudah mengeluarkan kalimat negatif daripada kalimat positif.
Implikasinya orang lebih mudah mengkritik daripada mengapresiasi.
Padahal, dari
penelitian juga, pemilihan kata yang bersifat negatif bisa memberikan dampak
buruk bagi otak yang tentunya akan mempengaruhi psikologis bahkan kesehatan
seseorang.
Kondisi ini
terjadi hampir pada semua kalangan dan tingkat kehidupan kita. Baik wong cilik
atau elit. Ini pula yang ditunjukkan pada fragmen debat calon presiden dan
calon wakil presiden kemarin. Di akhir debat, masing-masing calon presiden dan
calon wakil presiden dipersembahkan untuk memberikan apresiasi pada lawan
debatnya. Namun demikian aturan yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
tersebut tidak diindahkan oleh mereka. Justru sesi itu tetap digunakan untuk
mengkritisi dan menyerang lawan debatnya.
Atau,
masing-masing khawatir jika apresiasi mereka membuat rakyat bersimpati dan
memilih lawan yang dipuji? Sedemikian takutnya.
Padahal saat itu
sedang ditonton oleh ratusan juta pasang mata rakyat yang sedang menyaksikan.
Keteladanan apa yang sedang dipertontonkan oleh calon kepala negara itu kepada
bangsanya?
Justru
'keteladanan' buruklah yang dipertontonkan. Jangan harap rakyat memiliki
kebesaran jiwa jika elit sendiri tidak mampu menunjukkannya. Perbaikan itu
hendaknya dimulai dari atas, dan kalangan bawah akan mengikuti. Para elit
merupakan teladan bagi rakyatnya.
Rakyat pun
ikut-ikutan latah. Ini terlihat pula dari reaksi kita usai debat itu. Tidak
banyak yang memberikan apresiasi atau pujian. Justru lebih banyak mengkritik
atau menghujat penampilan para capres dan cawapres terutama capres dan cawapres
lawan. Hampir tidak ada yang mengapresiasi penampilan capres-cawapres lawan.
Apakah perlu
energi yang lebih besar untuk mengeluarkan kalimat negatif ketimbang
mengeluarkan kalimat positif? Entahlah. Padahal, kebaikan dan keburukan itu
bisa beresonansi. Keburukan atau kebaikan akan menular. Dia juga akan
memantulkan kembali energi yang dilepaskan. Jika energi keburukan yang kita
lepaskan, energi keburukan pula yang akan berbalik kepada kita. Sebaliknya,
jika energi kebaikan yang kita lepaskan, energi kebaikan pula yang akan kita
terima. Ayo belajar mengapresiasi, utuk kebaikan kita juga.
Post a Comment for "Belajar Mengapresiasi"
Kata Pengunjung: