Mengurai Masalah Pendidikan Dari Rumah
Ranah pendidikan berduka. Setidaknya ada dua tragedi memilukan yang terjadi. Pertama, penganiayaan yang dilakukan oleh AA, seorang siswa SMP PGRI Wringinanom terhadap Nur Kalim yang merupakan gurunya sendiri. Pada video yang vital, siswa tersebut beberapa kali menantang guru. Namun sang guru, terlihat sabar menghadapinya. Tidak emosi. Sungguh luar biasa. Salut kepadanya. Tidak banyak guru yang bisa sepertinya. Malah ada guru yang berkomentar, jika dia sebagai gurunya, mungkin sudah ditempeleng atau dipukul dengan rotan. Ada juga yang berkomentar, perlu dihukum push-up. Tapi guru Nur Kalim luar biasa. Tidak menuruti emosinya. Saya menebak isi pikirannya, bagaimana pun juga, dia adalah siswaku. Guru Nur Kalim pun diganjar berkah. Ditawari untuk umroh. Meskipun tersiar pula guru Nur Kalim menampiknya.
Kedua, pengeroyokan seorang petugas cleaning
service di SMP Negeri 2 Takalar, yang dilakukan oleh siswa sekolah
itu. Bahkan, petugas CS itu sempat dimaki dan dikata-katai binatang oleh
para siswa. Selain itu, orang tua siswa turut andil sehingga tragedi tersebut
terjadi. Betapa sangat berbeda kondisinya dengan zaman dulu.
Dimana guru sangat dihormati oleh siswa dan orang tua. Malah, saat anak mengadu
ke orang tua karena dimarahi guru, si anak akan balik dimarahi oleh orang tua.
Pendidikan di Indonesia ibarat mengurai benang
yang ruwet. Tidak jelas mana ujung mana pangkal. Pekerjaan yang membutuhkan
kesabaran dan ketelatenan. Prosesnya tidak instan, butuh waktu yang tidak
sebentar. Selain itu, kadang kita bingung akan memulai dari mana.
Dengan tidak menyalahkan
satu pihak saja, tragedi di atas hendaknya menjadi evaluasi kita bersama. Mari kita
cari solusinya. Setiap kita menjadi solusi. Salah satunya adalah dengan
memaksimalkan peran keluarga. Dengan
memaksimalkan pendidikan dalam keluarga, permasalahan permasalahan pendidikan
di sekolah dapat diatasi, setidaknya bisa dikurangi. Seperti pesan dalam Mars Pendidikan Keluarga bahwa keluarga adalah pendidikan yang
pertama dan utama.
Irawati Istadi, dalam buku
Rumahku Tempat Belajarku mengatakan bahwa rumah
menjadi basis membangun peradaban. Dia mengingatkan bahwa ada bahaya mengancam sebuah keluarga ketika orang tua terlalu sibuk, atau terlalu tidak peduli dan membiarkan rumah berjalan apa adanya. Termasuk membiarkan informasi-informasi negatif membanjiri rumah dan masuk ke mata serta telinga anak, membiarkan waktu-waktu kosong berlalu tanpa aktivitas berharga dan bermakna sehingga anak pun beralih asik dengan gadget-nya.
menjadi basis membangun peradaban. Dia mengingatkan bahwa ada bahaya mengancam sebuah keluarga ketika orang tua terlalu sibuk, atau terlalu tidak peduli dan membiarkan rumah berjalan apa adanya. Termasuk membiarkan informasi-informasi negatif membanjiri rumah dan masuk ke mata serta telinga anak, membiarkan waktu-waktu kosong berlalu tanpa aktivitas berharga dan bermakna sehingga anak pun beralih asik dengan gadget-nya.
Hari ini banyak orang tua
yang merasa sudah cukup menyelesaikan tanggung jawabnya ketika menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah favorit dan mahal. Mengangap tugas mendidik anak
hanyalah tugas guru. Orang tua pun cuci tangan.
Paradigma ini sangat keliru karena anak dibesarkan di rumah dan memiliki waktu yang lebih panjang di rumah. Sehingga banyak hal yang dilihat, didengar, dan dialaminya rumah yang sangat mempengaruhi karakternya. Dimana karakter itu akan senantiasa dibawanya bahkan hingga saat dia tidak lagi di rumah.
Paradigma ini sangat keliru karena anak dibesarkan di rumah dan memiliki waktu yang lebih panjang di rumah. Sehingga banyak hal yang dilihat, didengar, dan dialaminya rumah yang sangat mempengaruhi karakternya. Dimana karakter itu akan senantiasa dibawanya bahkan hingga saat dia tidak lagi di rumah.
Hal ini senada dengan apa
yang dikatakan Ki Hadjar
Dewantara bahwa alam keluarga itu adalah suatu tempat yang sebaik-baiknya
melakukan pendidikan-sosial juga. Sehingga
bolehlah dikatakan bahwa keluarga itulah tempat-pendidikan yang lebih sempurna
sifat dan ujudnya daripada pusat-pusat lainnya (Ki Hadjar
Dewantara, Bagian 1 Pendidikan)
Anak adalah peniru yang
ulung. Begitulah cara mereka belajar yaitu meniru orang lain. Dalam hal ini orang
yang paling dekat dengan dirinyalah yang akan menjadi rujukan. Orang tua merupakan teladan utama sebelum anak melihat orang lain yang
mungkin akan juga membentuk karakternya.
Keluarga
memberikan kontribusi sekitar 80% dalam menentukan tingkat kebahagiaan
seseorang (Irawati Istadi : 2017). Mereka yang memiliki kondisi rumah yang
nyaman, hidupnya akan dilingkupi dengan kebahagiaan. Apalagi jika dalam
rumah itu ditumbuhkan adanya budaya pendidikan yang baik maka nilai-nilai
pendidikan tersebut akan ditransferkan dalam kehidupan anak baik itu
ketika di sekolah maupun di masyarakat. Ringkasnya, apa yang dilihat didengar,
dan dirasakan anak di rumah seluruhnya akan berpengaruh terhadap pembentukan
karakternya maka wajib bagi setiap orang tua untuk memperhatikan suasana serta
berbagai kegiatan di rumah yang akan memberikan dampak positif bagi karakter
anak.
Jangan rumah hanya menjadi
persinggahan saja. Hidupkan suasana rumah dengan melakukan berbagai kegiatan. Tidak
harus dalam bentuk formal seperti mengerjakan PR dan tugas dari sekolah namun
bisa dengan mengisi dengan kegiatan santai dan ringan tetapi tetap bernilai
positif dan edukatif. Kegiatan
tersebut dapat mengalihkan anak dari serangan games dan pornografi.
Alternatif kegiatan di rumah seperti berkebun, memasak makanan
ringan, bersih-bersih rumah atau lainnya.
Satu keteladanan dari orang tua lebih berarti
dari belasan kalimat perintah. Untuk menjadi menghendaki anak yang sopan terlebih dahulu orang tua menunjukkan
perilaku sopan. Sangat penting pula bagi seorang tua untuk menanamkan dan memperlihatkan
sikap hormat kepada guru meskipun usia orang guru lebih muda dari orangtua.
(opini ini terbit di harian Kabar Banten edisi Senin, 25 Februari 2019)
Post a Comment for "Mengurai Masalah Pendidikan Dari Rumah"
Kata Pengunjung: