Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

3 Cara Pandang tentang Gaji



Keikhlasan bisa Melenceng. Keikhlasan adalah ruh ibadah. Jika tanpanya, maka ibadah (dan pekerjaan) kita tentulah tanpa makna. Keikhlasan bisa berubah-ubah. Bisa berubah karena godaan dan perubahan dunia.

Demikian kata ketua yayasan sekolah kami, di hari kemarin, Selasa (21/5) saat workshop lembaga. Yayasan yang berusia 25 tahun ini sangat perlu beberapa perbaikan dan penguatan. Maka diadakanlah workshop itu.

Pendiri yayasan juga mengatakan bahwa lembaga itu dibangun dengan keikhlasan para pendiri juga guru. Di awal-awal kehadirannya, mereka berkorban waktu, tenaga, dan materi. Guru assabiqunal awwalun-nya pun sama. Melakukan pengorbanan yang tidak ringan.

Mereka tidak digaji berbulan hingga bertahun-tahun. Mencari-cari siswa. Mengajar dengan fasilitas seadanya. Belajar pun di masjid.

Zaman berubah. Kehidupan semakin maju, begitu juga sekolah. Sekarang, sekolah sudah menjadi salah satu sekolah favorit. Tidak lagi mencari-cari siswa. Bahkan saat pendaftaran dibuka, cukup waktu satu bulan untuk memenuhi kuota penerimaan. Banyak yang menjadi waiting list.

Kesejahteraan guru pun membaik. Namun disinilah kadang ujiannya. Kadang keikhlasan menjadi kabur lantaran fasilitas (gaji).

Kepala yayasan juga menyentil para pendakwah di lini lainnya. Bisa jadi, di awal mereka ikhlas. Namun keikhlasan itu terancam tatkala kemewahan duniawi menyilaukan mata.

Seorang kyai yang rendah hati dan ikhlas, bisa hidup cukup tapi jauh dari punya banyak. Namun saat melihat kyai muda yang baru turun gunung lantas punya banyak materi, sedikit bias menghajar keikhlasan hatinya.

Begitu juga penggerak dakwah di bidang politik. Puluhan tahun membina kader, seorang ustadz masih jauh dari sejahtera. Sementara, dia punya santri, yang baru terjun di politik, jadi anggota dewan, langsung bergelimang harta. Punya rumah, punya mobil. Sedikit demi sedikit, hati sang ustadz pun 'terusik'.

3 Cara Pandang Tentang Gaji

Ada tiga cara memandang tentang gaji.  

Pertama, Bisyaroh atau kegembiraan. Bagi guru, mengajar merupakan ibadah. Maka gaji yang diterima merupakan kegembiraan atas kelelahannya. Namun ada lagi kegembiraan lain yang menantinya, diakhirat kelak. Jika saat ini di dunia dia menerima gaji, anggap sebuah DP kegembiraannya.

Kedua, Ujroh atau upah. Gaji yang diterima sebagai kompensasi mengajar benar-benar sebagai upah. Seorang guru mengajar untuk mendapatkan upah. Jika cara pandangnya seperti ini, biasanya guru hanya akan bekerja sesuai jam kerja dan tugasnya. Enggan untuk melebihkan atas pekerjaannya.

Ketiga, ghanimah atau rampasan perang. Seseorang akan termotivasi bekerja, jika dia memandang gaji sebagai ghanimah. Dia akan semakin bekerja keras untuk mendapatkan ghanimah yang setara dengan kerjanya.

Diluar itu semua, seorang guru dituntut bekerja secara itqon (profesional) atas pekerjaannya. Merasa malu jika menerima gaji diluar pekerjaannya. Apalagi jika dia tetap menerima gaji padahal kerjanya lalai. 

***

Setiap kali mendengar tausiyah seperti ini biasanya motivasi saya terlecut. Sebuah tekad untuk bekerja lebih baik lagi. Namun biasanya seiring waktu, tekad itu mengabur dan mengendur. Maka pertemuan-pertemuan seperti ini penting untuk diikuti sebagai sarana pelecut semangat. 

Rangkasbitung, 22 Mei 2019
~Supadilah

Post a Comment for "3 Cara Pandang tentang Gaji"