Guyonan Pengamen Tunanetra
Ada banyak yang kita lihat di perjalanan. Kadang potret mengharukan, heroik, atau menggelitik. Perjalanan banyak memberikan pengalaman hebat. Dari sana kita bisa mengambil pelajaran. Hikmah bisa di dapat dari pengalaman sendiri atau orang lain.
Dalam rutinitas pekanan menggunakan transportasi kereta listrik, satu dua kali saya menemukan pengamen tunanetra (TN). Dari usia dan kedekatan mereka, saya menduga mereka adalah sebuah keluarga.
Bapak dan ibunya TN. Sementara anaknya tidak. Nah, anaknya ini yang bertugas sebagai pemandu. Eh, tapi di lain waktu, saat bukan akhir pekan, tidak terlihat anaknya.
Dan bapak ibu itu secara mandiri menjaga keadaan mereka dalam menunaikan tugasnya.
Sejauh melihat TN mengamen, bukan meminta-minta, itu sudah membuat sebuah kekaguman. Apalagi, jika melihat hal yang lebih hebat dari itu.
Bertemu Rekan Seprofesi
Suatu waktu, mereka bertemu dengan rekan seprofesi dengan kondisi yang sama pula. Pengamen dan tunanetra. Dari stasiun Parung panjang dan berakhir di stasiun Palmerah. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Setelah dikondisikan oleh anaknya, denga posisi bapak dan ibunya berdekatan dalam satu bangku, dan si anak di bangku yang lain.
Di tengah perjalanan naik satu orang pengamen TN. Melihat orang ini, si anak ngomong ke bapak ibunya. Gembira luar biasa pasangan TN ini akan kedatangan orang itu.
(Bapak yang sama isteri = Bapak A. Bapak yang baru datang = Bapak B).
"Wah, si bapak sombong. Sudah nggak mau kenal kita. " Kata si ibu.
"Apanya yang sombong. Kita masih sama saja kok. Mau berhenti ke mana?" Jawab si bapak B.
"Ah, jangan mau jawab. Bapaknya sombong sama kita, ya Pak?" Si ibu ngajak ngomong suaminya. Bapak A.
Si bapak tertawa lebar. "Apanya yang mau disombongkan dari kita yang seperti ini?" Kata si bapak B.
(Pikir saya, wah, meskipun bercanda, jawaban bapak B unik)
Si bapak B ini sepertinya sangat dihormati oleh keduanya. Sepertinya merajuk atau marah akibat si bapak jarang berinteraksi dengan mereka berdua.
Si bapak B lantas berusaha mencari-cari tangan keduanya. Berusaha menyalami. Si bapak A mau saja bersalaman. Anehnya, si ibu menolak bersalaman. Seakan ngasih tau kalau benar-benar marah.
"Kita ke Ancol saja ya. Bareng." Ajak si bapak A.
"Ah, saya mah nggak paham jalan-jalan. Nggak pernah ke Ancol."
"Sekali-kali, Pak. Kita juga maen di sana." Kata si ibu. Tak lagi marah, sepertinya.
Obrolan berlanjut. Saat mendekati stasiun Palmerah, si anak ngasih aba-aba ke mereka. Lantas mereka bersiap.
Sambil menunggu kereta berhenti, ketiganya masih mengobrol. Denga segala keterbatasan mereka, sepertinya obrolan mereka tidak beda dengan obrolan orang normal pada umumnya.
Dengan keterbatasan mereka tapi tetap ceria dan bisa bercanda, alangkah tidak bersyukurnya jika kita yang sempurna tapi masih mengeluh dengan kondisi dan tidak bisa bahagia atas kehidupan kita.
Benar kata orang, bahagia itu bisa kita ciptakan. Kebahagiaan juga bukan karena ada atau tidaknya harta. Banyak hal yang bisa menjadi alasan kita untuk bahagia.
Banten, 2 November 2019.
Supadilah
Dalam rutinitas pekanan menggunakan transportasi kereta listrik, satu dua kali saya menemukan pengamen tunanetra (TN). Dari usia dan kedekatan mereka, saya menduga mereka adalah sebuah keluarga.
Bapak dan ibunya TN. Sementara anaknya tidak. Nah, anaknya ini yang bertugas sebagai pemandu. Eh, tapi di lain waktu, saat bukan akhir pekan, tidak terlihat anaknya.
Dan bapak ibu itu secara mandiri menjaga keadaan mereka dalam menunaikan tugasnya.
Sejauh melihat TN mengamen, bukan meminta-minta, itu sudah membuat sebuah kekaguman. Apalagi, jika melihat hal yang lebih hebat dari itu.
Bertemu Rekan Seprofesi
Suatu waktu, mereka bertemu dengan rekan seprofesi dengan kondisi yang sama pula. Pengamen dan tunanetra. Dari stasiun Parung panjang dan berakhir di stasiun Palmerah. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Setelah dikondisikan oleh anaknya, denga posisi bapak dan ibunya berdekatan dalam satu bangku, dan si anak di bangku yang lain.
Di tengah perjalanan naik satu orang pengamen TN. Melihat orang ini, si anak ngomong ke bapak ibunya. Gembira luar biasa pasangan TN ini akan kedatangan orang itu.
(Bapak yang sama isteri = Bapak A. Bapak yang baru datang = Bapak B).
"Wah, si bapak sombong. Sudah nggak mau kenal kita. " Kata si ibu.
"Apanya yang sombong. Kita masih sama saja kok. Mau berhenti ke mana?" Jawab si bapak B.
"Ah, jangan mau jawab. Bapaknya sombong sama kita, ya Pak?" Si ibu ngajak ngomong suaminya. Bapak A.
Si bapak tertawa lebar. "Apanya yang mau disombongkan dari kita yang seperti ini?" Kata si bapak B.
(Pikir saya, wah, meskipun bercanda, jawaban bapak B unik)
Si bapak B ini sepertinya sangat dihormati oleh keduanya. Sepertinya merajuk atau marah akibat si bapak jarang berinteraksi dengan mereka berdua.
Si bapak B lantas berusaha mencari-cari tangan keduanya. Berusaha menyalami. Si bapak A mau saja bersalaman. Anehnya, si ibu menolak bersalaman. Seakan ngasih tau kalau benar-benar marah.
"Kita ke Ancol saja ya. Bareng." Ajak si bapak A.
"Ah, saya mah nggak paham jalan-jalan. Nggak pernah ke Ancol."
"Sekali-kali, Pak. Kita juga maen di sana." Kata si ibu. Tak lagi marah, sepertinya.
Obrolan berlanjut. Saat mendekati stasiun Palmerah, si anak ngasih aba-aba ke mereka. Lantas mereka bersiap.
Sambil menunggu kereta berhenti, ketiganya masih mengobrol. Denga segala keterbatasan mereka, sepertinya obrolan mereka tidak beda dengan obrolan orang normal pada umumnya.
Dengan keterbatasan mereka tapi tetap ceria dan bisa bercanda, alangkah tidak bersyukurnya jika kita yang sempurna tapi masih mengeluh dengan kondisi dan tidak bisa bahagia atas kehidupan kita.
Benar kata orang, bahagia itu bisa kita ciptakan. Kebahagiaan juga bukan karena ada atau tidaknya harta. Banyak hal yang bisa menjadi alasan kita untuk bahagia.
Banten, 2 November 2019.
Supadilah
Post a Comment for "Guyonan Pengamen Tunanetra"
Kata Pengunjung: