Kisah Guru Bahagia. Jalan Menjadi Ujian Kesopanan
Kisah Guru Bahagia
#2
Jalan sering memberikan pelajaran. Banyak hal yang kita lihat di jalan. Tidak semua memberikan pelajaran. Hanya jika kita mau membuka mata lebih lebar, bisa jadi pelajaran itu datang bertubi-tubi.
Salah satu contohnya, ujian kesabaran. Kata seorang guru saya, latih/belajar kesabaran di jalan dengan tidak menghidupkan klakson selama sepekan saja.
Pulang di sore itu, saya berkesempatan merasakan dibarengi tiga kesempatan mendapatkan kesan dilewati motor murid. Yah, ada tiga.
Yang pertama, dua murid, laki-laki. Merka begitu saja melewati saya. Tanpa menyapa atau sekadar mengklakson. Mungkin mereka buru-buru. Atau, tidak tahu kalau melewati gurunya. Tapi alasan terakhir sangat kecil kemungkinannya karena biasanya setiap guru khas penampilannya. Baik motor, tas, atau boncengannya. Saat itu saya membawa anak saya. Jadi dari penampilan tentu kentara sekali.
Lagi, mereka kelas XII. Tentu sangat diragukan jika belum kenal gurunya.
Saya khawatir, mereka justru berlaku seperti itu karena tidak menunjukkan kesopanan.
Tidak berapa lama, dua murid melewati saya. Kali ini, mereka menyapa. "Assalamualaikum, Bapak. Duluan ya." Kata yang dibonceng. Mereka izin melewati saya. Menyapa hai sudah cukup membuat saya senang dengan keberadaan kesopanan mereka.
Banyak cerita saya dengar, termasuk sikap sopan, menyapa atau meminta izin guru jika berpapasan. Dalam hal ini bisa disamakan dengan melewati guru.
Usai dilewati itu, ada firasat, jangan-jangan saya akan menemukan siswa yang menunjukkan kesopanannya lebih tinggi lagi.
Ndilalah, kok benar saja. Lewat spion saya lihat siswa saya. Saya kenal betul anak-anaknya. Ketentuan pemakaian seragam di sekolah kami yang berbeda, menjadi penanda yang cukup cepat memastikan kalau itu siswa sekolah kami.
Firasat saya terbukti. Sampai perjalanan sejauh satu kilometer lebih, murid saya itu selalu di belakang saya. Tidak mendahului saya. Bukan karena kecepatan mereka yang rendah.
Biasanya mereka bisa ngebut sebagaimana anak-anak muda zaman now. Tapi setiap kali saya menengok lewat spion, mereka masih ada saja. Padahal beberapa kali jalan cukup sepi dan memungkinkan untuk menyalip.
Sampai kemudian, persimpangan yang memisahkan kami. Benar saja, saat di titik itulah murid saya mengklakson dan terlihat kecepatannya semakin kencang.
Menjadi penguat anggapan bahwa mereka sengaja melambatkan kecepatannya, dan tidak mau menyalip saya.
Bahagia rasanya dihormati siswa. Meskipun, kita jadi guru, jangan pula gila hormat. Dihormati alhamdulillah, lantas doa-doa mengalir untuk mereka. Kepada anak yang tidak hormat, ada kewajiban kita tunjukkan adab yang seharusnya. Perkara mereka mau mengubah atau tidak, Allah-lah yang memberikan hidayah. Kita hanya berusaha. Aamiin.
#2
Jalan sering memberikan pelajaran. Banyak hal yang kita lihat di jalan. Tidak semua memberikan pelajaran. Hanya jika kita mau membuka mata lebih lebar, bisa jadi pelajaran itu datang bertubi-tubi.
Salah satu contohnya, ujian kesabaran. Kata seorang guru saya, latih/belajar kesabaran di jalan dengan tidak menghidupkan klakson selama sepekan saja.
Pulang di sore itu, saya berkesempatan merasakan dibarengi tiga kesempatan mendapatkan kesan dilewati motor murid. Yah, ada tiga.
Yang pertama, dua murid, laki-laki. Merka begitu saja melewati saya. Tanpa menyapa atau sekadar mengklakson. Mungkin mereka buru-buru. Atau, tidak tahu kalau melewati gurunya. Tapi alasan terakhir sangat kecil kemungkinannya karena biasanya setiap guru khas penampilannya. Baik motor, tas, atau boncengannya. Saat itu saya membawa anak saya. Jadi dari penampilan tentu kentara sekali.
Lagi, mereka kelas XII. Tentu sangat diragukan jika belum kenal gurunya.
Saya khawatir, mereka justru berlaku seperti itu karena tidak menunjukkan kesopanan.
Tidak berapa lama, dua murid melewati saya. Kali ini, mereka menyapa. "Assalamualaikum, Bapak. Duluan ya." Kata yang dibonceng. Mereka izin melewati saya. Menyapa hai sudah cukup membuat saya senang dengan keberadaan kesopanan mereka.
Banyak cerita saya dengar, termasuk sikap sopan, menyapa atau meminta izin guru jika berpapasan. Dalam hal ini bisa disamakan dengan melewati guru.
Usai dilewati itu, ada firasat, jangan-jangan saya akan menemukan siswa yang menunjukkan kesopanannya lebih tinggi lagi.
Ndilalah, kok benar saja. Lewat spion saya lihat siswa saya. Saya kenal betul anak-anaknya. Ketentuan pemakaian seragam di sekolah kami yang berbeda, menjadi penanda yang cukup cepat memastikan kalau itu siswa sekolah kami.
Firasat saya terbukti. Sampai perjalanan sejauh satu kilometer lebih, murid saya itu selalu di belakang saya. Tidak mendahului saya. Bukan karena kecepatan mereka yang rendah.
Biasanya mereka bisa ngebut sebagaimana anak-anak muda zaman now. Tapi setiap kali saya menengok lewat spion, mereka masih ada saja. Padahal beberapa kali jalan cukup sepi dan memungkinkan untuk menyalip.
Sampai kemudian, persimpangan yang memisahkan kami. Benar saja, saat di titik itulah murid saya mengklakson dan terlihat kecepatannya semakin kencang.
Menjadi penguat anggapan bahwa mereka sengaja melambatkan kecepatannya, dan tidak mau menyalip saya.
Bahagia rasanya dihormati siswa. Meskipun, kita jadi guru, jangan pula gila hormat. Dihormati alhamdulillah, lantas doa-doa mengalir untuk mereka. Kepada anak yang tidak hormat, ada kewajiban kita tunjukkan adab yang seharusnya. Perkara mereka mau mengubah atau tidak, Allah-lah yang memberikan hidayah. Kita hanya berusaha. Aamiin.
Post a Comment for "Kisah Guru Bahagia. Jalan Menjadi Ujian Kesopanan"
Kata Pengunjung: