Manajemen Komplain Sekolah
Suatu
hari saat menjemput anak di sebuah sekolah taman kanak-kanak. Saat itu saya
mendapati anak saya dengan wajah ada perban di keningnya. Tepatnya di kening
sebelah kiri. Di perban itu ada warna kuning kemerahan sepertinya warna obat
antiseptik. Dari jarak sepuluh meter terlihat jelas perban itu.
Sebagai
orang tua, saya tentu sangat khawatir. Kekhawatiran orang tua sebagai tanda
sayang. Apalagi saat itu anak masih kecil, lagi sayang-sayangnya. Saya
tidak mau gegabah. Khawatir dan marah memang ada. Namun saya tahan. Saya harus
tahu duduk perkaranya sebelum beraksi.
Dalam hal ini saya teringat dengan profesi saya sebagai
guru yang bisa saja mengalami hal serupa. Jika sebagai orang tua saya
terburu-buru bereaksi dengan marah, misalnya, bisa saja di lain waktu saya akan
dimarah oleh orang tua siswa. Dalam hal ini pula saya hanya berusaha menjadi
seorang manusia yang harusnya bereaksi setelah jelas apa yang sedang terjadi.
Saat saya sampai di kelas, gurunya datang. Lalu
menjelaskan kronologis kecelakaan yang dialami anak saya. Setelah duduk
perkaranya, saya paham, dan tidak marah atau menuntut sekolah karena lalai
mengawasi anak, sebagaimana yang sering didengar pada banyak pemberitaan.
Karena yang dialami anak bisa jadi kesalahan atau kelalaian anak. Sekolah-dan
guru pastilah menghendaki yang terbaik untuk siswa. Tidak mungkin sekolah
menghendaki yang terburuk untuk siswa.
Dalam pengawasannya guru punya keterbatasan. Dia harus mengawasi
banyak anak-anak yang pada usia seperti itu sedang masa aktif-aktifnya.
Bergerak aktif dan bebas. Sangat dianjurkan untuk memberikan ruang gerak
seaktif-aktifnya kepada anak. Bermain bagi anak merupakan hal yang penting.
Karena itu jangan membatasi minat bermain anak.
Untuk menyimpulkan secara lengkap sebuah masalah tidak
bisa hanya dari sudut pandang kita atau anak kita sendiri. Harus dari berbagai
sisi dari anak, guru, atau bahkan oranglain. Dari sana lalu kita mendapatkan
satu kesimpulan utuh mengenai permasalahan yang bisa menjadi dasar kita
bertindak. Sebelum urusan itu terang dan jelas ada baiknya kita tidak mengambil
tindakan yang dapat memperuncing dan memperlebar masalah. Seperti curhat atau
posting di media sosial atau menceritakannya kepada oranglain, kecuali anggota
keluarga. Itu pun dalam rangka mencari pertimbangan atau solusi.
Jadi, tidak bijak mengumbarnya di media sosial. Apalagi
zaman sekarang berita mudah tersebar. Orang gampang terprovokasi memberikan
komentar tanpa melihat duduk perkaranya. Ibarat api dalam sekam berita buruk
itu mudah tersebar dan membesar.
Pernah ada sebuah kejadian di sebuah sekolah seorang
siswa kehilangan helm. Anak itu melapor ke orang tuanya. Orang tuanya langsung
emosi dan menyebarkan di media sosial. Singkat cerita, sekolah itu didatangi
LSM bodong yang menginterograsi kepala sekolah dengan mempertanyakan keamanan
sekolah. Terlanjur viral. Ternyata, helm siswa ketemu. Helm tadi dipinjam oleh
temannya tanpa izin. Kalau seperti itu, orangtua malu sendiri. Sementara, nama
baik sekolah sudah tercemar dan susah diperbaiki.
Trims kak, artikel ini menohok saya. Andai saya orang tuanya pasti juga akan susah menahan emosi kalau lihat ada perban di kepala anak saya.padahal ya kadang emang anak saya yang luar biasa aktivnya...
ReplyDeletesama-sama, nah itu pentingnya kita cek dan ricek berita dulu ya. hehe..saat itu saya masih berpikir jernih, sih. hehe
ReplyDeletekalau udah kebawa emosi biasanya nggak bisa berpikir jernih
ReplyDeleteapalagi sampai dishare di sosmed yang masih belum tau kebenerannya seperti apa