Perjuangan Menulis Di Koran
Pondasi literasi saya mulai ada sejak kelas 6 sekolah dasar. Saat itu, walikelas saya membuat tantangan. Seluruh siswa diberikan tugas untuk membuat tulisan bertema kegemaran. Akan dipilih tiga tulisan terbaik yang akan dipajang di mading sekolah. Tulisan saya terpilih. Karya saya pun terpajang di mading sekolah sampai setahun lamanya. Dari apresiasi wali kelas itulah saya termotivasi untuk menulis.
Selepas SD, saya malah tidak menulis lagi. Saat kuliah sering mengikuti kegiatan kepenulisan yang diadakan oleh lembaga jurnalistik kampus. Dari ikut acara mereka itulah muncul motivasi menulis dan ingin menjadi seperti mereka. Namun, itu belum cukup untuk membuat saya berani menulis secara serius.
Untuk membiasakan menulis, saya bikin blog. Dengan punya blog, saya lebih bebas menulis tanpa takut dibilang jelek. Juga tidak khawatir tidak diterima. Sebab saya sendiri redaksinya. Sudah banyak tulisan di blog. Namun, saya belum berani mengirimkannya ke surat kabar atau penerbit manapun.
Suatu ketika, ada teman kuliah saya yang tulisannya dimuat di harian Padang Ekspres. Saat itu saya merasa kok keren sekali ya bisa nampang di koran. Pengen-lah seperti dia. Saya kira dalam hal seperti ini dibolehkan iri. Iri membuat prestasi. Hehe.. Berbekal iri itulah saya memacu diri untuk menulis dengan lebih serius. Saya memilih tema pergerakan mahasiswa. Dengan penuh perjuangan, akhirnya selesailah naskah saya. Tulisan perdana saya dimuat di harian Singgalang di 2009. Lantaran iri dengan teman saya, Mujahidin Salam, yang telah dimuat duluan di koran Padang Ekspres.
Penah saya magang di sebuah lembaga kemanusiaan. Saya ditempatkan di bagian humas dan marketing. Diminta membuat liputan kegiatan. Walaupun belum bisa menulis dengan baik, saya terima tantangan itu. Juga mengingat saya harus punya pemasukan untuk membiayai kuliah. Pertama kali membuat tulisan liputan kegiatan, tulisan saya banyak kekurangannya. Sampai-sampai dimarah oleh pimpinan lembaga. Saya mendapat komentar pedas, “Tulisan apa ini? Masih mentah sekali.” katanya.
Ternyata, kalau baca tulisan saya dulu-dulu itu memang bikin geli dan membuat ketawa. Banyak salah ketik, kata-kata rancu, dan bikin kening berkerut. Maka wajarlah kalau dulu tulisan saya diejek. Meskipun, untuk mengoreksi tidak perlu mengejek juga. Mungkin itulah gayanya. Mengoreksi dengan pilihan kata yang bisa membuat panas telinga.
Namun, saya tak patah semangat. Saya jadikan ejekan itu sebagai jamu yang menyehatkan. Justru ejekan itu membuat saya harus bisa membuktikan bahwa saya bisa membuat tulisan yang lebih baik lagi. Saya tidak mundur dari aktivitas menulis. Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak? Toh, banyak penulis hebat juga tidak serta merta langsung bisa punya karya yang bagus. Tidak sedikit mereka yang mengalami penolakan demi penolakan saat mengirim karya mereka ke surat kabar atau penerbit.
Saat ini saya semakin ingin belajar menulis lebih baik lagi. Rajin mencari pelatihan menulis agar semakin mahir pula menulis. Ya, saya ingin menjadi seorang penulis.
Saya ingin jika kelak menyuruh anak untuk menulis, saya sudah punya bukti cukup yang bisa meyakinkan mereka bahwa saya juga tak sekadar menyuruh. Begitu juga saat saya menganjurkan siswa saya menulis. Dengan punya karya, saya akan lebih mudah untuk memotivasi mereka.
Saat pindah ke Banten, saya mulai menulis lagi. Kepindahan saya tanpa membawa banyak bekal. Laptop pun tidak bawa. Inilah yang membuat saya kesulitan untuk menulis. Saya tak bisa menulis di rumah.
Saya menulis dengan meminjam laptop sekolah. Di sela-sela mengajar saya kerjakan tulisan itu. Lama tidak menulis cukup membuat saya kesulitan merangkai kata-kata. Dalam satu hari saya bisa menyelesaikan tiga atau empat paragraf saja yang menjadi semakin sedikit setelah diedit. Hingga akhirnya satu naskah saya rampung setelah dibuat selama tiga pekan.
Naskah itu hendak saya kirim ke surat kabar. Saya pergi ke loper koran untuk mencari surat kabar mana yang tepat untuk tulisan saya. Ada alamat surat elektronik tertera di surat kabar itu. Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, saya kirim tulisan saya dengan menggunakan laptop sekolah.
Setelah mengirimkan naskah, belum bisa bernapas lega. Kebanyakan redaksi tidak menginformasikan diterima atau tidaknya naskah. Tidak memberikan pemuatan naskah. Maka, penulis harus rajin mengecek. Saya agak kesulitan mengeceknya. Di sekolah tidak langganan koran. Sudah mengajukan usul ke kepala sekolah tapi menungggu semester depan sebab harus masuk pembahasan di kebijakan sekolah.
Hari pertama saya pergi ke koper koran untuk mengecek. Namun, hasilnya nihil. Tulisan saya belum dimuat. Ada rasa kecewa, tetapi masih ada harapan. Semoga besok dimuat. Hari kedua saya ke sekolah teman, di sana sudah langganan koran. Saya cek, belum ada tulisan saya. Semakin bertambah rasa kecewa saya. Hari-hari berikutnya saya lakukan pola pengecekan yang sama. Pindah antara loper koran atau ke kantor teman saya. Sebetulnya ada rasa malu juga numpang ngecek ke kantor orang. Namun, demi menjadi seorang penulis, malu itu saya kesampingkan. Waktu terasa berjalan lambat, menunggu esok hari agar bisa mengecek koran lagi. Sampai pada hari ke sembilan, usaha dan penantian saya berbuah hasil. Tulisan saya dimuat. Ada fotonya.
Jantung saya berdetak kencang. Bangga dan haru. Tulisan saya ketemu jodohnya juga. Kalau tidak ingat sedang di kantor orang, mungkin saya akan berteriak. Untungnya saya sadar tempat. Dengan menahan malu, saya minta koran itu. Teman saya membolehkan. Toh, mungkin jarang ada yang baca, katanya.
Saya pamerkan koran itu ke teman. Dia mengucapkan selamat. Saya bergegas kembali ke sekolah. Sampai di ruang guru, saya pamerkan pula ke kepala sekolah. Dia pun mengucapkan selamat, "Bangga punya guru penulis," pujinya.
Saya sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Membanggakan kepada istri. Agar dia bangga pula dengan suaminya. Sesampainya di rumah, isteri sudah tahu dari postingan foto pemuatan tulisan yang saya unggah ke laman facebook. Di postingan itu banyak pula yang mengapresiasi. Jumlahnya hampir seratusan komentar dari teman-temannya dunia maya.
Malam itu saya dan isteri makan dengan menu lebih enak dari biasanya. Sebagai wujud syukuran atas pemuatan tulisan itu. Ada honor tulisan, walaupun jumlahnya tidak begitu besar. Namun, sudah dimuat saja menjadi sebuah kebanggaan. Honor hanyalah bonus. Upah lelah.
Tulisan saya masih jauh dari kata sempurna. Saat dibaca lagi, masih banyak kekurangannya. Isteri saya pun mengatakan hal itu. Hal ini menjadi cambuk agar bisa lebih teliti lagi dalam menulis.
Ada banyak keuntungan tambahan kalau tulisan dimuat di koran. Salah satunya menjadi bukti kepada anak dan siswa, siapa tahu kelak mereka akan mengikuti jejak kita. Kalau punya 'bukti', ajakan kita akan lebih didengar ketimbang hanya sekadar menyuruh saja. Setelah dimuat, jangan lupa untuk mengklipingnya. Bisa juga dengan membingkainya. Lantas dipasang di rumah atau tempat kerja kita.
Saya berhasil mengompori kepala sekolah agar langganan koran. Usaha ini berbuah manis. Lebih cepat dari yang dijanjikan. Satu bulan berikutnya, sekolah kami sudah langganan koran. Selain dapat membaca berbagai kabar dan informasi, saya semakin mudah mengecek pemuatan naskah. Tak perlu lagi numpang di kantor orang.
*
Supadilah. Lahir tepat di peringatan Hari Pahlawan; 10 November 1987. Penyuka segala jenis buku kecuali thriller. Belajar menulis banyak jenis tulisan pula. Saat ini diamanahi dua anak laki-laki. Mengajar fisika di sebuah sekolah swasta di Banten. Jika berkenan silakan mampir di blog saya www.supadilah.com atau instagram @supadilah. Saya dapat dihubungi di 081993963568.
Selepas SD, saya malah tidak menulis lagi. Saat kuliah sering mengikuti kegiatan kepenulisan yang diadakan oleh lembaga jurnalistik kampus. Dari ikut acara mereka itulah muncul motivasi menulis dan ingin menjadi seperti mereka. Namun, itu belum cukup untuk membuat saya berani menulis secara serius.
Untuk membiasakan menulis, saya bikin blog. Dengan punya blog, saya lebih bebas menulis tanpa takut dibilang jelek. Juga tidak khawatir tidak diterima. Sebab saya sendiri redaksinya. Sudah banyak tulisan di blog. Namun, saya belum berani mengirimkannya ke surat kabar atau penerbit manapun.
Suatu ketika, ada teman kuliah saya yang tulisannya dimuat di harian Padang Ekspres. Saat itu saya merasa kok keren sekali ya bisa nampang di koran. Pengen-lah seperti dia. Saya kira dalam hal seperti ini dibolehkan iri. Iri membuat prestasi. Hehe.. Berbekal iri itulah saya memacu diri untuk menulis dengan lebih serius. Saya memilih tema pergerakan mahasiswa. Dengan penuh perjuangan, akhirnya selesailah naskah saya. Tulisan perdana saya dimuat di harian Singgalang di 2009. Lantaran iri dengan teman saya, Mujahidin Salam, yang telah dimuat duluan di koran Padang Ekspres.
Penah saya magang di sebuah lembaga kemanusiaan. Saya ditempatkan di bagian humas dan marketing. Diminta membuat liputan kegiatan. Walaupun belum bisa menulis dengan baik, saya terima tantangan itu. Juga mengingat saya harus punya pemasukan untuk membiayai kuliah. Pertama kali membuat tulisan liputan kegiatan, tulisan saya banyak kekurangannya. Sampai-sampai dimarah oleh pimpinan lembaga. Saya mendapat komentar pedas, “Tulisan apa ini? Masih mentah sekali.” katanya.
Ternyata, kalau baca tulisan saya dulu-dulu itu memang bikin geli dan membuat ketawa. Banyak salah ketik, kata-kata rancu, dan bikin kening berkerut. Maka wajarlah kalau dulu tulisan saya diejek. Meskipun, untuk mengoreksi tidak perlu mengejek juga. Mungkin itulah gayanya. Mengoreksi dengan pilihan kata yang bisa membuat panas telinga.
Namun, saya tak patah semangat. Saya jadikan ejekan itu sebagai jamu yang menyehatkan. Justru ejekan itu membuat saya harus bisa membuktikan bahwa saya bisa membuat tulisan yang lebih baik lagi. Saya tidak mundur dari aktivitas menulis. Kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak? Toh, banyak penulis hebat juga tidak serta merta langsung bisa punya karya yang bagus. Tidak sedikit mereka yang mengalami penolakan demi penolakan saat mengirim karya mereka ke surat kabar atau penerbit.
Saat ini saya semakin ingin belajar menulis lebih baik lagi. Rajin mencari pelatihan menulis agar semakin mahir pula menulis. Ya, saya ingin menjadi seorang penulis.
Saya ingin jika kelak menyuruh anak untuk menulis, saya sudah punya bukti cukup yang bisa meyakinkan mereka bahwa saya juga tak sekadar menyuruh. Begitu juga saat saya menganjurkan siswa saya menulis. Dengan punya karya, saya akan lebih mudah untuk memotivasi mereka.
Saat pindah ke Banten, saya mulai menulis lagi. Kepindahan saya tanpa membawa banyak bekal. Laptop pun tidak bawa. Inilah yang membuat saya kesulitan untuk menulis. Saya tak bisa menulis di rumah.
Saya menulis dengan meminjam laptop sekolah. Di sela-sela mengajar saya kerjakan tulisan itu. Lama tidak menulis cukup membuat saya kesulitan merangkai kata-kata. Dalam satu hari saya bisa menyelesaikan tiga atau empat paragraf saja yang menjadi semakin sedikit setelah diedit. Hingga akhirnya satu naskah saya rampung setelah dibuat selama tiga pekan.
Naskah itu hendak saya kirim ke surat kabar. Saya pergi ke loper koran untuk mencari surat kabar mana yang tepat untuk tulisan saya. Ada alamat surat elektronik tertera di surat kabar itu. Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, saya kirim tulisan saya dengan menggunakan laptop sekolah.
Setelah mengirimkan naskah, belum bisa bernapas lega. Kebanyakan redaksi tidak menginformasikan diterima atau tidaknya naskah. Tidak memberikan pemuatan naskah. Maka, penulis harus rajin mengecek. Saya agak kesulitan mengeceknya. Di sekolah tidak langganan koran. Sudah mengajukan usul ke kepala sekolah tapi menungggu semester depan sebab harus masuk pembahasan di kebijakan sekolah.
Hari pertama saya pergi ke koper koran untuk mengecek. Namun, hasilnya nihil. Tulisan saya belum dimuat. Ada rasa kecewa, tetapi masih ada harapan. Semoga besok dimuat. Hari kedua saya ke sekolah teman, di sana sudah langganan koran. Saya cek, belum ada tulisan saya. Semakin bertambah rasa kecewa saya. Hari-hari berikutnya saya lakukan pola pengecekan yang sama. Pindah antara loper koran atau ke kantor teman saya. Sebetulnya ada rasa malu juga numpang ngecek ke kantor orang. Namun, demi menjadi seorang penulis, malu itu saya kesampingkan. Waktu terasa berjalan lambat, menunggu esok hari agar bisa mengecek koran lagi. Sampai pada hari ke sembilan, usaha dan penantian saya berbuah hasil. Tulisan saya dimuat. Ada fotonya.
Jantung saya berdetak kencang. Bangga dan haru. Tulisan saya ketemu jodohnya juga. Kalau tidak ingat sedang di kantor orang, mungkin saya akan berteriak. Untungnya saya sadar tempat. Dengan menahan malu, saya minta koran itu. Teman saya membolehkan. Toh, mungkin jarang ada yang baca, katanya.
Saya pamerkan koran itu ke teman. Dia mengucapkan selamat. Saya bergegas kembali ke sekolah. Sampai di ruang guru, saya pamerkan pula ke kepala sekolah. Dia pun mengucapkan selamat, "Bangga punya guru penulis," pujinya.
Saya sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Membanggakan kepada istri. Agar dia bangga pula dengan suaminya. Sesampainya di rumah, isteri sudah tahu dari postingan foto pemuatan tulisan yang saya unggah ke laman facebook. Di postingan itu banyak pula yang mengapresiasi. Jumlahnya hampir seratusan komentar dari teman-temannya dunia maya.
Malam itu saya dan isteri makan dengan menu lebih enak dari biasanya. Sebagai wujud syukuran atas pemuatan tulisan itu. Ada honor tulisan, walaupun jumlahnya tidak begitu besar. Namun, sudah dimuat saja menjadi sebuah kebanggaan. Honor hanyalah bonus. Upah lelah.
Tulisan saya masih jauh dari kata sempurna. Saat dibaca lagi, masih banyak kekurangannya. Isteri saya pun mengatakan hal itu. Hal ini menjadi cambuk agar bisa lebih teliti lagi dalam menulis.
Ada banyak keuntungan tambahan kalau tulisan dimuat di koran. Salah satunya menjadi bukti kepada anak dan siswa, siapa tahu kelak mereka akan mengikuti jejak kita. Kalau punya 'bukti', ajakan kita akan lebih didengar ketimbang hanya sekadar menyuruh saja. Setelah dimuat, jangan lupa untuk mengklipingnya. Bisa juga dengan membingkainya. Lantas dipasang di rumah atau tempat kerja kita.
Saya berhasil mengompori kepala sekolah agar langganan koran. Usaha ini berbuah manis. Lebih cepat dari yang dijanjikan. Satu bulan berikutnya, sekolah kami sudah langganan koran. Selain dapat membaca berbagai kabar dan informasi, saya semakin mudah mengecek pemuatan naskah. Tak perlu lagi numpang di kantor orang.
*
Supadilah. Lahir tepat di peringatan Hari Pahlawan; 10 November 1987. Penyuka segala jenis buku kecuali thriller. Belajar menulis banyak jenis tulisan pula. Saat ini diamanahi dua anak laki-laki. Mengajar fisika di sebuah sekolah swasta di Banten. Jika berkenan silakan mampir di blog saya www.supadilah.com atau instagram @supadilah. Saya dapat dihubungi di 081993963568.
Menulis bagi saya adalah obat stres yang sangat mujarab. Segala apa yang ada dikepala langsung saya tuangkan dalam bentuk tulisan.
ReplyDeleteKeren, Koh. Memang begitulah manfaatnya, menulis bisa menjadi obat stress
DeleteKeren ya, saya blm brani ke media. Tau diri haha
ReplyDeleteSaya menulis br untuk terapi diri sendiri dulu hehe
masih lokal, Kak. Hehe..itung-itung belajar
DeleteWah luar biasa, sangat inspiratif perjuangannya untuk bisa tembus ke koran. Memang kita harus sabar dan terus rajin untuk mengirimkan tulisan ke media cetak dan hal ini tentunya butuh ketekunan dan kesabaran yang cukup tinggi. Salut dengan kegigihannnya, layak dicontoh nih. ..
ReplyDeletecukup berat pas belum langganan koran di sekolah, Mbak. Ngecek korannya agak ribet. Butuh perjuangan. hehe
Deletedari dulu pengen banyak nyoba untuk bisa nulis di koran, bagaimana step-stepnya mas? sharing dong di blog bagaimana cara kirim tulisan ke koran hingga di muat, hehe.
ReplyDeletehampir mirip dengan nulis di blog, Mbak. Bedanya kalimatnya agak kaku. Pelajari juga tipe2 korannya. hehe.. habis itu dikirim aja ke koran. Semoga di lain tulisan bisa saya lengkapi.
Deletemantap pak! kalo saya pernah nulis puisi dan cerpen yg dimuat di radar Tuban, grup jawa pos
ReplyDeletewah, keren juga nih. grup Jawa Pos
DeleteWah keren kak sdh bisa dimuat di koran tulisannya. Kalau tulisan sy baru dimuat di media online saja. Gimn sih cara kirimnya kalau ke koran cetak? By email ya kak?
ReplyDeleteLewat email saja. Sekarang sudah mudah kok.
DeleteWaaah udah banyak kliping beritanya itu mas. Kereeeeen Pak Guru. Tetap semangat menularkan energi positif ke yg lain. Semoga semakin banyak juga yg mencontoh dan termotivasi menulis di surat kabar.
ReplyDeleteAamiin. Tadinya hanya hobi. Lantas bikin kecanduan. Hehe
DeleteHihi, satu-satunya majalah yang memuat tulisan saya adalah majalah sekolah bang. Hehehe.
ReplyDeleteTapi emang bener, ketika tulisan dimuat, ada perasaan bahagia meskipun tidak banyak upahnya
Wah, keren dong. Saya dulu hanya majalah dinding. Hehe
DeleteMenulis memang proses yang indah, Mas. Saya juga merasakannya.
ReplyDeleteMeski dari dulu saya suka menulis, bukan berarti tulisan saya benar. Saya belajar banyak dari membaca, memperhatikan tulisan, dan tentu saja banyaknya tulisan.
Selamat ya.... menulis di koran memang membanggakan..
Bener, Mbak. Sama aja jam terbang sih. hehe
DeleteWah pengen juga suatu saat bisa nulis di koran. Tapi belum ada langkah pasti nih hehe. Perjalanannya bisa jadi pelajaran buat kita-kita yang baru mau mencoba peruntungan di koran h
ReplyDeleteAamiin. Semoga nongol ya mbak...
DeleteSalut usaha kerasnya hingga tembus media. Semoga bisa jadi contoh buat penggemar literasi seperti saya untuk terus gigih berusaha. Yakin saja, setiap tulisan pasti ada jodoh pembacanya.
ReplyDeleteWah, pengalaman yang menarik pak menulis di koran. Sama seperti saya, saya punya cita cita pengen masuk koran dulu, alhamdulillah tercapai karena tim futsal kami juara, wkwk.
ReplyDeleteWah. Keren. Seneng ya nongol di koran. Hehe
DeleteAku, belum sempat ikut lomba menulis ataupun menulis di kolom koran. Dulu aku benar-benar pemalu euy.
ReplyDeleteKisah mengharukan. Saya dulu saat SD sudah suka menulis karena diwajibkan setiap pagi menulis jurnal harian. Tapi karena ada suatu hal yang membuat saya drop, saya berhenti menulis. Saat SMA, ingin mengirimkan karya lomba malah tidak ditanggapi guru. Ternyata saya menang, tapi hanya diumumkan saja, tidak menyusuh sya maaju di lapangan seperti yang menang lomba matematika. Pelajaran bagi saya, untuk mengapresiasi kemampuan bahasa setara dengan kemampuan matematika.
ReplyDeleteWah. Keren juga kok Matematika. Hehe... Insyaallah kita berprestasi di manapun
DeleteKeren, mas. Dari kelas 6 SD sudah ngerti "Tulisan"
ReplyDeleteAku ngebayangin istrinya pasti sangat bahagia saat liat tulisan pertama yang dimuat di koran itu.
Aku dulu waktu pertama nulis di koran juga gitu, jam 1 pagi bangun demi liat update koran online. Alhamdulillah resensi buku bangga menjadi ibu lolos di korjak. Seneng banget hihihi
Waaah. Sama nih pengalaman saya. Saya juga rela bangun pagi. Menunggu-nunggu. Hehe
DeletemasyaAllah keren banget si pak guru, semoga kubisa mengikuti keberanian dan kemampuan menulis sprtimu
ReplyDeleteSaya juga dari SD sudah suka menulis dan dapat pujian dari guru, Bang. Tapi mulai rajin menulis lagi waktu SMA. Ketika kuliah baru berani mengirim karya ke koran. Karya pertama saya juga terbit di Singgalang, sebuah cerpen, kalau tidak salah pada Oktober 2011 silam. Senang banget waktu itu, ya walaupun honornya tak seberapa, tapi itu kan prestasi.
ReplyDeletesenangnya, ikut senang daku
ReplyDeletekalau sudah niat dan melakukan hal yang disukai, jika berhasil seperti ini ada rasa bangga tersendiri. Waktu aku SMP cerpen "receh" yang aku buat ternyata dimuat juga, waktu itu rasanya wowwwwwww berasa keren, taun 90an dapet duit yang dikirim pake wesel pos udah seneng
Pasti bangga ya mas . . Melihat tulisan kita terpampang disebuah surat kabar... dan dikliping serta ditulislan diblog biar menjadi jejak sahih untuk masa depan
ReplyDeleteLuarr biasaaa kakkkkkkkk... Pasti ada kebanggaan tersendiri klo tulisan kita bisa terpublish di media cetak ya kak
ReplyDeletekeren kakak. perjuangannya bisa bikin semangat yang baca.
ReplyDeleteterimakasih kontennya udaa
ReplyDelete