Guru Makan Gaji Buta?
Sekolah libur, tapi orang tua tetap bayar. Nah, diduga, guru makan gaji buta. Sebab, guru tidak mengajar.
Atau, jika mengajar, tidak full seperti biasanya. Tapi, tetap saja orang tua membayar. Nah, apakah ini adil? Tanya orang tua itu.
Tak repot jika sekolah negeri yang sekolahnya gratis, jadi orang tua tak payah mengatakan guru gaji buta. Nah, masalah muncul di sekolah yang tetap memberlakukan pembayaran SPP.
Ok, kembali ke pertanyaan utama tadi, apa benar guru makan gaji buta?
Jawab saya, tentu ada. Ya, ada guru yang makan gaji buta. Ya namanya manusia. Ada yang bener dan ada yang tidak bener. Begitu pula guru.
Malah ada guru yang pura-pura meninggal hingga tujuh tahun eh dia tetap dapat gaji. Kalau bukan gaji buta apa namanya itu.
Ada guru yang di peniara lantaran melakukan tindak pidana, tapi dia tetap mendapatkan gajinya. Utuh tanpa potongan.
Tapi, tidak semua guru yang makan gaji buta. Saya pastikan, oknum guru.
Sebagaimana profesi lain yang makan gaji buta. Saya yakin ada polisi, ASN, kepala desa, menteri, dan lainnya yang juga makan gaji buta.
Tapi, saya yakin juga, sangat banyak guru yang tidak mau makan gaji buta.
Apa ukuran makan gaji buta?
Menurut saya, seseorang dikatakan makan gaji buta kalau dia tidak bekerja sementara dia tetap menerima gaji. Dia tidak mau bekerja, tapi pengen gajinya utuh.
Nah, para guru pun beragam merespon ujaran makan gaji buta. Ada yang marah, geram, cuek, atau berlinang air mata.
Saya lantas introspeksi. Apakah saya makan gaji buta? Pekerjaan saya di masa pandemi, kadang terasa berat dibanding mengajar tatap muka di kelas. Biasanya, satu mata pelajaran dapat jatah waktu 90 menit.
Entah mau apa di dalam kelas. Mungkin banyak ngobrolnya bisa jadi.
Tapi pas belajar daring begini, bisa-bisa dua jam lamanya. Bukan dua jam mata pelajaran tapi benar-benar dua jam yang 120 menit.
Itu hanya pas pembelajaran. Belum lagi menyiapkan bahan pembelajaran yang tak kalah repot. Nyari materi atau bikin blog atau bikin video pembelajaran atau apalah yang bisa dibuat mengisi kegiatan pembelajaran daring tanpa memberatkan siswa.
Pas penilaian akhir tahun atau PAT begini yang tetap dilaksanakan, menggunakan Google Classroom atau Google Form saja, menginput soalnya saja bisa dua jam lamanya.
Apalagi saya yang matematika tidak bisa langsung menuliskan beberapa simbol matematika. Kudu pakai aplikasi lain atau diubah dulu dalam bentuk gambar.
Ringkasnya, belajar daring bisa lebih berat daripada belajar tatap muka.
Kuota internet untuk mengajar pun tidak sedikit, lho. Satu dua hari pertama belajar di rumah, saya pakai aplikasi zoom. Dengan durasi dua jam, habis 1,5-2 GB. Atau kalau diuangkan sekitar Rp. 35-50 ribu.
Ah, ini hanya curhat. Kalau mau ngasih kuota ya silakan. Hehe...
Di sekolah saya, dan ini hampir sama terjadi di sekolah di bawah naungan JSIT, memberlakukan pemotongan biaya SPP. Semacam ada diskonlah.
Sebuah upaya agar ada saling mengerti antara sekolah dengan orang tua.
Prihatin dengan orang tua yang mampu punya mobil mewah gaya hidup high class tapi urusan pendidikan kok rewel amat.
Tapi, ya sudahlah.
Saya tutup dengan pantun yang didapat dari internet. Hehe...
Beli Celana di Pasar Baru
Terkena paku di segala penjuru
Wahai Corona cepatlah berlalu
Sebab mamaku tak cocok jadi guru
Sudah pasti bukan kangguru
Karena bulunya berwarna merah
Mamaku tak cocok tuk jadi guru
Sebab ngajarnya slalu marah-marah
Ikan Tuna dan ikan Lohan
Bila beradu Si Tuna kalah
Wahai Corona pulanglah ke Wuhan
Kami rindu ibu bapak guru di sekolah
Ikan Tuna masak di panci
Kalau ditutup matang merata
Wahai Corona cepatlah pergi
Mama dah tak sanggup beli kuota
Ini yg seharusnya dikhawtirkan, khawatir gak berkah gajinya.
ReplyDeletebagi yang emang tidak layak digaji, kudu introspeksi, hehe
DeleteBetul banget. Ibu saya guru. Hampir tiap hari beliau lihat laptop sampai punggungnya sakit. Usianya sudah 59 tahun tapi masih berusaha untuk mengajar murid2nya meski lewat daring. Alhamdulillah di rumah ada WiFi jadi lebih irit. MasyaAllah mudah2an Allah selalu memberi kekuatan dan memberi perlindungan untuk semua guru, ustadz ustadzah di belahan dunia mana saja. Aamiin
ReplyDeleteYa Allah, simpati sama beliau. Kondsi yang membuat seperti ini. Semoga ibunya tetap diberikan kesehatan dan kekuatan. Aamiin.
DeletePertama kali sempat dengar istilah gaji buta saat di bangku sekolah dasar. Tapi menurut saya di saat pandemi ini harus saling mengerti sih baik antara institusi maupun orang tua. Semua jenis pekerjaan sejatinya mulia, jangan sampai lah di kotori dengan oknum" yang suka seenaknya ingin menikmati gaji buta
ReplyDeleteBenar, kuncinya saling memahami sih. Sekolah pun saat ada ortu yang kesulitan masak iya nggak membantu. hehe... saling bantu aja
DeleteAda yg kurang optimal sih memang. Kalau di kampus ada tridarma perguruan tinggi sebagai kewajiban pengajar. Pengabdian kepada masyarakat secara daring, masy-nya kurang puas. Dosennya diminta hadir aja lah ke desa. Lah kan engga boleh kemana-mana. Mau ngajar juga, mhs-nya ilang-ilang. Engga selalu bisa hadir, krn engga ada kuota...Pantunnya bagus, cocok...
ReplyDeleteOh, bgitu ya Mbak. Sebenarnya lumayan ada solusi ya, tapi emang kondisi begini berkomunikasi dengan masyarakat pun sulit
DeleteDisaat kondisi seperti saat ini, dengan berhusnuzon akan membuat imun tubuh tetap terjaga. Karena guru dalam kondisi apapun sebenarnya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk semua anak didiknya.
ReplyDeleteIya, Mbak. Guru juga nggak mau lah sebenarnya makan gaji buta. Tetap banyak yang dikerjakannya.
DeleteOrang yang beranggapan bahwa Guru Makan Gaji Buta itu mereka yang ga paham dunia pendidikan, di masa pandemi ini proses belajar mengajar tetap jalan secara Daring.
ReplyDeleteBener, soalnya, siapa sih yang mengharapkan kondisi begini. Kan nggak ada ya. akhirnya kudu saling mengerti aja
DeleteAnakku sekolah yg menurutku guru2nya amanah.. pas pandemi gini SPP turun, malah aq yg nelongso. Tapi dikasih hadiah ga mau loh, krn takut menimbulkan fitnah (hadiah terhadap guru bisa dikategorikan suap untuk kondisi2 tertentu)
ReplyDeleteAlhamdulillah, wah, luar biasa gurunya. Keren.
DeleteItu mungkin kesalahpahaman orang tua siswa yang tidak paham akan tugas seorang guru saat pandemi ini. Meskipun belajar dialihkan di rumah, tugas tetap melaksanakan tugasnya.
ReplyDeleteIya, Mbak. Nggak semua orang tua sih, tetapi hanya beberapa oknum saja.
DeleteDi profesi apapun, namanya oknum nakal pasti ada. Sayangnya masyarakat kita itu terbiasa langsung menggeneralisasi kalau ada oknum nakal yang terekspose
ReplyDeleteBener, Mbak. apapun profesinya pasti ada yang curang. Hanya, isu ini seksi dikenakan di guru
DeleteWaaah Mas Padil guru matematika rupanya. Gilaaaak, itu susah banget ngajarin matematik lewat daring. Apalagi ini mata pelajaran yang gak semua anak suka ya mas. Semoga tetap istiqamah dan semangat.
ReplyDeleteIya, Mbak. Jangnkan daring. Tatap muka aja susah. Jadi kudu pinter2 atur strategi. Jangan diajarkan yang susah-susah. Eh tapi tetap aja susah bagi siswa mah. Hehe...
DeletePa guru lagi curhat nih... tapi ya gitulah pak..emang lagi musim pandemi ini dan suasana ekonomi juga tidak bersahabat... ya mau ga mau mencari cara utk mengurangkan pengeluaran.. mana yg bisa..sukur2 kalau bisa diangkat "guru makan gaji buta" uang sekolah bisa diturunin...
ReplyDeleteIya bang. Lagi curhat. Hehe... Nah, itu cara bijaknya
DeleteSaya jadi teringat sahabat saya yg bekerja sebagai guru di sekolah swasta. D blg makan gaji buta, ya tidak demikian, karena mereka tetap bekerja sebagaimana mestinya. Setiap hari memantau proses belajar mengajar melalui daring, urusan administrasi juga harus beres sebagaimana mestinya alias masuk kerja ke sekolah juga. Tp kalaupun ada yg dianggap makan gaji buta, ya itu pasti oknum
ReplyDeleteBenar, mas. Selalu ada oknum lah ya.. hehe
Delete