Strategi Mengajar Pada Masa Pandemi. Dari Kuis Hingga Tebak-tebakan
Pandemi Covid-19 memang mengubah banyak aktivias manusia. Termasuk guru yang mengajar, tadinya pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran dilakukan dengan daring atau luring.
Pada
suatu kegiatan, seorang pemateri bertanya pada peserta, yang mayoritas guru, "Bapak
ibu, lebih enak mana pembelajaran tatap muka atau daring?" Maka
kompak peserta seruangan sekitar 200-an orang menjawab, "Tatap mukaa."
Padahal
di awal PJJ, banyak lho guru yang seneng PJJ. Yah karena bisa di rumah aja.
Ngajar pun bisa lebih santai. Tak perlu berangkat pagi-pagi, rapi, dan mandi.
Hehe...
Kerepotan
akibat perubahan sistem kerja ini juga saya alami. Bahkan mungkin lebih repot
dari yang lain. Bukannya sok paling menderita sih. Tapi mungkin penjelasan
berikut ini menjelaskannya.
Aku
mengajar matematika kelas X dan Fisika kelas XI. Untuk kelas X dibagi dua lagi
yaitu matematika peminatan dan matematika wajib. Sekolahku
merupakan sekolah swasta. Namanya SMA Terpadu Al Qudwah. Perlu diketahui,
sekolahku ada dua sistem yaitu fulday dan boarding school. Jadi ada yang
tinggal di asrama.
Boarding ini bukan identik dengan boarding pass lho ya. Hehe.. tapi mirip dengan pesantren gitu lah. Eh, emang pesantren sih. Hehe ..
Anak-anaknya tinggal diasrama. Dan karena pesantren itulah kebijakan pada pandemi Covid-19 ini mirip dengan pesantren lain. Termasuk dalam kegiatan pembelajarannya. Jadi, di Al Qudwah boarding school ini santrinya masuk. Pembelajaran pun dilakukan dengan tatap muka.
Awalnya
santri pun belajar dari rumah. Lalu, masuk di bulan Agustus kemarin. Tentu saja santri
masuk dengan pemberlakuan protokol kesehatan seperti pakai masker, rapor tes,
cuci tangan dan lainnya.
Sampai
di sini belum ada masalah. Masalah muncul saat belajar di sekolah. Secara
otomatis ada dua sistem pembelajaran yaitu pembelajaran tatap muka untuk
santri, dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) untuk siswa yang fulday.
Kebayang
kan, satu sistem pembelajaran saja sudah cukup besar tantangannya. Semakin ribet
pada PJJ. Lha ini, guru melakukan dua sistem sekaligus yaitu tatap muka dan
PJJ. Udah gitu, saya ngajar fisika dan matematika. Pelajaran yang.... dilakukan
tatap muka saja belum tentu paham. Dengan satu metode saja sudah cukup membuat
pening kepalaku. Apalagi ini dengan dua sistem yang harus dihadapi.
Akhirnya,
saya pun nambah ngopi. Biar kuat menghadapi kenyataan yang ada.
Guru
lain pun begitu. Jadi kami semua melakukan dua sistem pembelajaran begitu. Sebelum
masuk, sebetulnya guru dimintai pendapat. Tentu saja guru keberatan kalau dua
sistem begitu. Pasti ribet.
Namun,
kebijakan punya hak pimpinan. Guru hanya bisa memberikan pertimbangan atau
pendapatnya. Jadi, sekalipun semua guru tidak sepakat dengan tatap muka dan
daring, akhirnya ketok palu juga santri masuk pondok.
Guru lalu dimintai usul tentang strategi yang akan dipakai. Pada akhirnya pasti ada yang tidak maksimal. Fokus pada daring, yang tatap muka pasti sedikit eh banyak terbengkalai. Dan sebaliknya, kalau mengejar yang tatap muka, daring bakal semakin garing.
Kepsek
pun menyadari kondisi ini. Eh tapi bagaimana lagi. "Kalau berbicara ideal
emang susah ya. Apalagi dalam kondisi yang tidak ideal pula."
Aku
pun menyimpulkan. Sebisa guru aja deh. Pastinya ada yang dikorbankan. Ada satu
yang tidak kepegang. Dan.... The show must go on. Keputusan yang sudah diambil
harus dilaksanakan.
Atur
Strategi di Pembelajaran Pandemi
Nah,
bisa dibayangkan ya segimana pusingnya kami mengatur pembelajaran itu. Btw, the
show must go on. Udah nawar tapi nggak bisa turun harga. Hehe..
Lalu,
apaan sih yang bisa dilakukan oleh kami para guru?
Yang jelas, kami harus ke sekolah. Wajib. Tentu saja tidak bisa yang di pondok ikut yang daring. Kalao ikut daring, ngapain ke pondok. Hehe...
Akhirnya
yang daring disisakan waktu. Eh, sisa waktu. Hehe.. Sambil
ngajar ngadep laptop. Buka WhatsApp web, GCR, atau blog. Kalau
di kelas berdoa, yang daring pun berdoa. Lalu, yang di kelas ditinggal dulu. Ke
kelas daring, cek siswa yang belum on. Nunggu sampai beberapa menit, sampai
semuanya komplit.
Saya
beralih ke yang di kelas. Ngasih sedikit pengantar. Buka buku halaman berapa,
ngasih tahu temanya apa dan tujuan pembelajaran hari ini apa.
Kembali ke daring. Ngasih sedikit penjelasan. Buka buku halaman berapa, ngasih link video pembelajaran, alamat web, atau lainnya. Dikasih waktu 10-20 menit. Trus giliran yang di kelas. Dikasih penjelasan, diterangkan, bahasa contoh soal dan lainnya. Sampai lupa kalau daring udah lewat waktunya.
Sebab
materi dan satu contoh soal saja bisa 15 hingga 20 menit. Belum lagi kalau
latihan. Makin tambah lama aja. Makin
lama kalo ada siswa yang nanya. Kudu menjelaskan, panjang lebar, sampai
tiba-tiba waktu hampir habis.
Aku
sendiri nggak puas dan merasa nggak maksimal dengan mengajar begini. Kalau
kasih angka nih ya kalau mengajar tatap muka dulu berani pasang angka 8 atau 9
buat kesuksesan mengajar, kalau begini yakin aja nilai 4 atau 5.
Sebenarnya
ngerasa nggak enak sih ya nggak bisa ngasih yang terbaik buat siswa. Tapi ya
aku nggak bisa berbuat lain. Kondisinya begitu itu. Toh, dalam lubuk hati
terdalam kan nggak ngarep kondisi begini juga sih. Iya kan..
Tapi
kami nggak pengen memberikan seadanya lho. Kami tetap berusaha. Tapi kalau
nggak maksimal juga tentunya jadi evaluasi ke depannya.
Aku
pun berusaha memberikan pembelajaran yang mudah dipahami anak. Oh iya,
prinsipku kalau tidak bisa membuat isi pelajaran menjadi menyenangkan, maka
suasana belajar kudu dibikin menyenangkan.
Seperti pagi ini ya. Aku ada jam fisika kelas XI. Aku tak belajar melulu. Belajar tetap pakai laptop di depan kelas. Nggak langsung belajar, tapi aku bikin kuis dulu. Isinya yang seru-seruan aja.
Pakai aplikasi quziiz. Pertanyaannya yang ringan-ringan. Yang penting siswa HEPI. Di quziiz itu kan ada pemeringkatan ya. Jadi anak termotivasi supaya jadi yang terbaik. Lantas, bagi yang peringkat terakhir gimana? Tenang aja. Tidak ditampilkan kok. Hanya mereka yang tau peringkatnya. Hanya tiga besar yang ditampilkan. Jadi, nggak usah khawatir kalau nanti siswa malu.
Selain
itu, kadang pembelajaran aku bawa ke luar kelas. Supaya mereka dapat suasana
segar gitu.
"Boleh di saung, Pak?"
"Di kebun, Pak?"
Tanya mereka antusias. Kayaknya mereka juga bosen di kelas. Hehe... Selain udara seger, di luar kelas mereka bisa gerak bebas. Jadinya mereka nggak ngantuk. Ya elah, emang siswa aja yang ngantuk? Guru juga kalee... Makanya ini strategi biar aku nggak ngantuk juga.
Main tebak-tebakan
Dan
ini cukup efektif supaya suasana belajar jadi lebih cair. Ya. Main
tebak-tebakan. Nggak perlu pusing bikin tebak-tebakan. Bisa Googling aja.
Banyak kok di sana.
Nah,
supaya lebih cair. Tebakan bisa divariasikan. Bisa guru yang ngasih tebakan,
bisa siswa yang gantian ngasih tebak-tebakan. Sewaktu belajar matematika wajib
kemarin, ada kayaknya 20 an tebak-tebakan yang sukses membuat siswa seneng.
Ketawa-ketawa di sekolah. Ini sewaktu daerah kami belum masuk zona kuning atau
merah. Jadinya agak bisa longgar. Dan memang, santri dalam keseharian benar
dijaga akses keluar masuk.
Sebisa
mungkin mereka tidak ada kontak dengan dunia luar. Melakukan isolasi mandiri
dengan disiplin.
Begitulah yang aku lakukan dengan menyiasati pembelajaran dengan dua sistem tadi. Meskipun cukup merepotkan, jalani aja dengan sebisanya. Kuat tak lakoni nek ora kuat tak tinggal ngopi.
Mas, memang ga pakai masker ini ya? Ini di daerah mana?
ReplyDeleteKebayang repotnya ngajar dengan dua cara, tatap muka dan daring sekaligus. Pusing dah gurunya.
Keren tapi, semoga diberi kelancaran ya semua. Berkah ilmunya.
Btw, anakku SMA Negeri di Jakarta. Jadi pagi absen di GCR terus nanti kadang ada pembelajaran via Google Meet atau ada materi di GCR lanjut Quizizz> Beda banget sama adiknya yang SD swasta, dari 7.30-12.00 pembelajaran full via zoom meeting dengan berganti guru dengan lokasi di sekolah, nyaris sama dengan tatap muka
Di daerah Lebak, Banten. Saat itu masih belum zona kuning. Jadi aman. Termasuk sistem pondok yang memang rapat isolasi mandirinya. hehe.. repot sih dua sekaligus. hehe
DeleteAkhirnya di blog ini saya menemukan PJJ dari sudut pandang guru, karena biasanya saya baca diblog teman-teman yang sudut pandangnya cenderung sebagai wali murid. Semangat ya pak, semoga pandemi ini segera usai.
ReplyDeleteHehe.. iya nih kebetulan saya guru jadi nulis sudut pandang guru. Aamiin. Semoga lekas usai pandemi
DeleteRibet, memang, kalau belajar daring dan luring digabung. Murid agak mumet, guru yang super mumet. Btw, saya malah sudah nyaman dengan PJJ. Hihihi.
ReplyDeleteIya, Mbak. Enak PJJ sebetulnya. Bisa lebih fleksibel. Hehe
DeleteSusah juga ya kak kalau pengajar, terus2 an via zoom supaya ga monoton harus banyak strategi yg mesti dipikirkank
ReplyDeletePJJ ini ternyata masa sulit juga ya buat para guru. banyak memang yang bilang kalo guru mah enak selama PJJ gak harus ke sekolah, diem aja di rumah. tapi kenyataannya gak begitu. tetep kan bikin kurikulum, mantau anak anak lewat daring dan laporan ke pusat.
ReplyDeletePJJ ini sama sama ga enak buat semua pihak. ah semoga pandemi segera usai.
Enak gak enak sih Mbak. PJJ itu durasainya makin lama daripada tatap muka. hehe... Aamiin. Semoga pandemi cepat hilang
Deletehehehe kopi supaya bisa menghadapi kenyataan.
ReplyDeleteOia membaca artikel ini, saya jadi timbul pertanyaan. Waktu ujian online itu bagaimana ya?
Baru sih pakai 2 sistem begini. Jadi PAS kemarin masih daring. Nah, nggak tau kalau yang sekarang. Hehe
DeleteDuhh andaikan jadi bapak, saya pasti bingung mengajar seperti itu. Seperti hidup dalam dua dunia saja yaa hehe. Semangat pak. Kita sama-sama dari program pendidikan. Tapi sebelum pandemi, ovi resign sih rencana niat lanjut studystudy. Tapi malah di rumah terus ini wkwk jadi gak ngajar tp jadi peserta kulwap yang berasa ikutan kuliah daring haha. Semangat pak ngajarnya😊
ReplyDeletewah, sekalian istirahat lah ya. hehe.. siap.bingung tapi harus dijalankan
DeleteCerita soal PJJ ini kurang lebih sama dengan yg dicurhatkan teman saya yg ngajar SMA. Katanya, PJJ lebih melelahkan dan rumit daripada kelas tatap muka langsung. Semua butuh adaptasi memant. Stay strong and stay healthy, ya para guru.
ReplyDeleteSebelumnya malah lebih repot. Secara durasi, PJJ lebih lama dari tatap muka. Alhamdulillah sekarang sudah lebih nyaman buat guru.
DeleteLumayan juga ya pak guuru kalau dapat hadiah hehehe. sebenenrya itu yang selalu saya nanti2 ketika jadi siswa gitu
ReplyDeleteHadiah emang bikin semangat deh. hehe...
DeleteWah, pak guruu asyik banget strateginya. Kadang saya sedih kalau di masa pandemi gini sosok guru dianggap cuma gabut. Padahal effort mereka malah kelihatan maksimal banget. Terus semangat pak bikin cerah generasi penerus
ReplyDeleteHaha...kadang saya ada gabutnya juga sih. Doakan ya biar tidak gabut. Aamiin
DeleteSemoga pak guru selalu diberikan kesehatan, tetap semangat meskipun harus menjalankan pembelajaran daring dan luring sekaligus. aamiin..
ReplyDeleteAamiin. terima kasih banyak, Pak.
DeleteSeneng bgt deh kalau punya guru kreatif gini. Mudah-mudahan dedek2 pada belajar semangat dan giat yaa
ReplyDeleteRepot juga ya bang, mengajar 2 metode di satu waktu. Tapi kalau dibedakan waktunya, justru lebih repot lagi. Semoga pandemi segera usai
ReplyDeleteiya akh. in satu waktu lho. jadi emang kerasa repotnya
Delete