Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tantangan Sekolah Pada Masa Pandemi


 

Selama pandemi Covid-19, pelajar di kabupaten Lebak banyak yang berhenti sekolah. Hal ini dikatakan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, Wawan Ruswandi. Sedikitnya 415 siswa sekolah menengah pertama (SMP). Alasan mereka berhenti sekolah karena jenuh terlalu lama libur sekolah. Ada pula yang menikah dan malas.

Mau tidak mau kita memkambinghitamkan pandemi. Sudah terlalu lama sekolah secara online. Tak semua yang bisa mengikuti pembelajaran. Banyak yang tidak punya perangkat yang memadai.

Data di atas baru menunjukkan pelajar SMP saja. Belum tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah atas. Saya yakin pasti banyak mereka yang putus sekolah.

Saya banyak bertanya kepada rekan-rekan guru mengenai proses pembelajaran saat pandemi. Rata-rata punya keluhan sama tentang rendahnya motivasi belajar, kehadiran yang minim, atau sulitnya akses internet. Bantuan kuota internet pendidikan bukannya kurang. Namun, fasilitas yang kurang memadai menjadi tak sebanding. Apalagi, banyak daerah di kabupaten Lebak yang sulit akses internet.

Ada guru yang bilang dari 30 siswa hanya delapan siswa yang hadir. Ada siswa yang tak masuk-masuk saat belajar daring. Saat didatangi siswanya tidak ada di rumah. Ternyata siswa itu pergi ke sawah membantu orangtuanya.

Curhatan guru lainnya tidak berbeda jauh. Belum lagi tentang efektivitas pembelajaran daring yang layak dikritisi juga. Bahwa banyak siswa yang tidak mampu memahami pembelajaran. Entah apatis atau memang realitanya. Keluhan kesulitan belajar memang sangat variatif. Salah satu potretnya adalah keluhan, ‘Belajar tatap muka saja belum tentu paham. Apalagi belajar daring, Pak”seru siswa.

Sulit untuk menemukan guru yang kelasnya tetap stabil motivasi belajar. Mungkin saja ada. Tapi sangat jarang. Berbagai pelatihan diikuti dan punya beragam tips belum tentu berhasil dipraktikkan di kelas. Pertimbangannya faktor waktu. Rutinitas yang dijalankan terus menerus pasti bisa menimbulkan kebosanan. Apakah pembelajaran tatap muka menjadi solusinya? Tidak perlu buru-buru menyimpulkan. Hal ini perlu banyak pertimbangan pula.

Jangankan anak-anak, guru pun merasa kerepotan dengan belajar daring. Belajar dari rumah (BDR) sudah dua tahun lebih. Sudah ada dua generasi yang diluluskan selama pandemi. Banyak yang menyebutnya sebagai angkatan korona. Waktu yang terlalu lama. Maka wajar kalau bosan dengan kondisi ini.

Kondisi siswa putus sekolah harus segera ditemukan solusinya. Dampak buruk putus sekolah sangat mengkhawatirkan. Pendidikan erat kaitannya dengan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Pun kemajuan sebuah daerah bahkan negara dipengaruhi pula oleh pendidikannya.

Ekstra Hati-Hati

Pemerintah sudah membaca kegelisahan para orangtua yang sudah khawatir kondisi anaknya. Pada Juli mendatang, pemerintah sudah mengisyaratkan boleh pembelajaran tatap muka (PTM). Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar ekstra hati-hati untuk sekolah yang kembali membuka tatap muka. Sekolah wajib menerapkan protokol kesehatan  seperti wajib menyediakan cairan disinfektan, sabun cuci tangan, air bersih, penyanitasi tangan, masker, dan/atau masker tembus pandang cadangan, thermogun (pengukur suhu tubuh tembak).

Jokowi pun menganjurkan PTM hanya dilakukan dua kali sepekan. Senada pernyataan presiden, menteri Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim juga memberikan lampu hijau untuk penyelenggaraan PTM. “Demi keberlangsungan pendidikan dan masa depan anak-anak Indonesia” kata Mas Menteri.

Kesiapan PTM sudah banyak dilakukan sekolah. Saya yakin sekolah pun berharap bisa melakukan PTM. Guru-guru sudah rindu PTM sekaligus jenuh pembelajaran jarak jauh (PJJ). Berbagai survei dilakukan oleh pihak terkait. Namun, tidak semua sekolah bisa diizinkan melakukan PTM.

Kemampuan sekolah berbeda-beda. Apalagi sekolah swasta yang kemampuan sarananya tidak sebagus dan selengkap sekolah negeri pada umumnya. Ada sekolah yang tidak bisa memenuhi isian tersebut. Akibatnya, secara otomatis, sekolah tersebut tidak bisa melakukan PTM.

Menilik data Kemendikbud, ada lebih dari 68 juta siswa dari berbagai jenjang mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) yang terdampak pandemi. Siswa harus menjalani Belajar Dari Rumah (BDR).

Hal yang paling dicemaskan orang tua adalah hasil belajar tidak maksimal. “Dapat apa dari belajar daring?”. Justru semakin membingunkan dan terkesan mubazir. Beberapa daerah masih sulit akses internet. Ini yang membuat BDR tidak maksimal. Guru kesulitan menyampaikan pembelajaran. Hal ini berakibat hasil belajar yang kurang memuaskan.

Sebetulnya hal ini sudah terbantu dengan adanya kurikulum darurat. Pemberlakukan kurikulum darurat pada masa pandemi telah membantu kesulitan guru. “Kurikulum pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa,” kata Nadiem Makarim.

Sekolah dapat memilih pada tiga pilihan yaitu 1) tetap mengacu pada Kurikulum Nasional; 2) menggunakan kurikulum darurat; atau 3) melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Kebijakan ini sangat membantu mengingat durasi belajar yang semakin sedikit sementara ketuntasan kurikulum juga perlu dipenuhi. Sekarang, ketuntasan kurikulum tidak lagi dipaksakan. Pada akhirnya kembali pada kebijaksanaan guru dan sekolah dalam hal ketuntasan materi pembelajaran. Dalam hal ini, sekolah tidak harus memaksakan ketercapaian materi. Ada hal yang jauh lebih penting yaitu masalah psikologis siswa yang harus tetap dijaga.

Pembelajaran Bermakna

Pembelajaran yang tepat pada masa pandemi ini adalah pembelajaran bermakna yang mengandung tiga pengertian yaitu kontekstual, relevan, dan konkret. Pembelajaran kontekstual artinya pembelajaran yang mengaitkan materi belajar dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Konkret atau nyata berarti siswa belajar contoh langsung pendidikan karakter. Mereka bisa belajar keberagaman, gotong royong, keja sama, dan mandiri dari kehidupan mereka. Relevan artinya sesuai kebutuhan atau kondisi anak. Perlu ada akivitas yang memfasilitasi proses menumbuhkan karakter itu.

Karakter merupakan poros pendidikan. Karena itu, apa pun kondisinya, pembelajaran harus menumbuhkembangkan karakter-karakter luhur itu. Nilai-nilai karakter dapat ditumbuhkan melalui pembelajaran. Suatu hari saya berdiskusi dengan siswa tentang dampak positif Covid-19. Imbauan Work from Home membuat orang jarang keluar rumah. Mobil atau sepeda motor semakin sepi di jalanan. Hal ini mengurangi polusi udara. Informasi mengatakan langit semakin cerah. Lalu saya minta siswa memfoto langit di dekat rumah mereka. Hasilnya pun bagus-bagus. Siswa bisa dapat mengaitkan langsung materi pembelajaran dengan kejadian di lingkungannya.

Bagaimana pun juga kualitas BDR tidak sama dengan pembelajaran tatap muka. Namun, bukan berarti kita menyerah dengan keadaan. Pandemi mengajarkan banyak hal seperti menumbuhkan empati, disiplin menjaga kesehatan, bertanggung jawab dengan tugas sendiri, dan lainnya.

Penyederhanaan kurikulum membuat guru semakin fokus pada pendidikan penguatan karakter. Hal ini bisa terintegrasi pada materi pembelajaran. Perangkat ajar pun bisa sederhana, jelas, dan bermanfaat bagi siswa.

Esensi dari pendidikan adalah cinta belajar. Ciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan agar mereka cinta belajar.  Memelihara suasana bahagia dapat menumbuhkan kreativitas, meningkatkan antusias, dan mengembangkan imajinasi anak.

8 comments for "Tantangan Sekolah Pada Masa Pandemi"

  1. Saya kaget sampai ada siswa yang putus sekolah dan kemudian memutuskan menikah.

    Semoga siswa memiliki semangat belajar, guru juga selalu menambah keterampilan agar PJJ tidak membisankan.

    Terakhir tentunya kita berharap bersama, jika corona segera berakhir. Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di kampung, masih muda pun banyak yang segera menikah Pak. Efek sekolah tidak berjalan lancar, banyak yang menikah juga. Miris juga sih

      Delete
  2. Ya.....berita.siswa.pitus sekolah karena.menikah pernah.ditayangtulisan diTV.... Ini memang dilema.....semoga ada jalan keluarnya.... mantap artikelnya pak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Pak. semoga ada solusinya. Kasihan, masa depan mereka masih panjang. Terima kasih banyak, Pak

      Delete
  3. Sulit sekali menghindari agar anak tdk putus sekolah.
    Jangankan kelas 9 yang mmng sudah jenuh dg PJJ, dan memilih bekerja, b aru kelas 7 pun banyak yg DO, sbagian besar karena motivasi belajar yg merosot.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, Bu. Miris ya. Sebab masa depan mereka masih panjang. Alangkah sedihnya para orang tua jika sekolah anaknya putus. Semoga segera ketemu jalan keluar.

      Delete